TWENTY EIGHT

24K 5.4K 1K
                                    

Ruangan itu sudah di tempati sejak tiga puluh menit yang lalu. Seorang remaja cowok yang tertidur di sudut ruangan dekat jendela serta satu siswi yang terbaring lemah di atas brankar UKS, Zero dan Zee.

"Shh," mata Zee yang semula terpejam rapat, mulai terbuka dengan perlahan. Bibir mungilnya meringis meskipun suaranya terdengar lirih. Cewek itu mengerjabkan mata -setengah sadar. Dia memiringkan kepala dan tertawa lemah saat melihat Zero tidur telungkup dengan satu tangan menutupi kepalanya. Matanya terpejam. Bibirnya sedikit terbuka. Untuk pertama kalinya, Zero terlihat sesuai dengan usianya.

"Lucu."

Zero mengerang, tanpa sadar menjatuhkan seragam Grace saat berbalik memunggungi Zee.

Zee menajamkan tatapan saat melihat luka tikaman paku pada lengan Zero."Lo terluka," pupil abu Zee menggelap. Ekspresi sakitnya berubah dingin.

Salah satu sudut bibir Zero terangkat, tersenyum sinis. "Urus-urusan lo sendiri."

Zee menipiskan bibir.

Zero memiringkan kepala, membuat Zee langsung membuang muka. Dia setengah mati ingin pergi, seperti hewan yang ingin meloloskan diri dari perangkap. Liar dan ganas. Siap menggigit menembus tulang. Cewek itu menumpu berat badannya dengan kedua siku dan menegakkan tubuh.

"Jangan lupa obati luka lo." Zee berkomentar saat sepatunya menginjak jejak darah luka Zero yang membekas mengotori lantai.

Cowok itu tidak mengatakan apapun, bahkan hingga bayangan Zee menghilang dari balik pintu.

Zee menghentikan langkahnya kala merasakan tatapan tajam seseorang menembus punggungnya. Dia berbalik badan dan tercekat saat melihat seseorang berdiri menutupi penglihatannya. Zee mengangkat wajahnya sedikit. Rasanya seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya dengan garpu. Altezza menatapnya. Matanya melihatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa berhenti di satu titik —sebuah tatapan singkat dan menusuk.

"Ada apa?"

"Lo berdarah," katanya dingin.

Zee mengangkat satu alisnya.

Cowok itu tidak mengatakan apapun ketika dia mendekat dan menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Zee. Altezza mengatupkan bibirnya, mendesis. "Gue nggak suka."

"A-pa?" Zee terlihat seperti bocah yang kebingungan. Dia menutupi lukanya.

Altezza memutar mata. Tiba-tiba Zee menyentuh dadanya. Jantung cowok itu berdetak lambat. Altezza mencengkeram tangannya. Dia menyipitkan mata.

Hati Zee berdebar kencang sampai dadanya terasa sakit. Cewek itu menepis tangannya. "Memangnya urusan lo kalau gue terluka?"

"Tch. Ikut gue." Altezza mengalihkan pembicaraan. Dia melepaskan cengkeramannya dan menabrak pundak Zee saat cowok itu melewatinya.

"Gue-" kata-kata Zee terhenti kala Altezza menunjuk perban luka yang membebat sebagian dahi. Cowok itu sengaja membangkitkan rasa bersalah Zee. "Sial," mengerang malas sebagai keluhan, kakinya melangkah paksa mengikuti Altezza menuju gudang belakang sekolah. Kedua remaja itu memasuki gudang dan melewati beberapa tumpukan alat rusak yang diletakkan layaknya sampah. Suara hewan-hewan kecil penghuni gudang terdengar mencekam.

"Mendekat," kata Altezza dengan suara rendah.

Zee mengerutkan kening, tidak mengerti. Sedetik kemudian, Altezza membuatnya terkejut saat cowok itu menarik pinggangnya mendekat, hingga Zee bisa merasakan lengan Altezza yang dingin menyentuh kulit sikunya.

Zee memalingkan wajah. Dia menutupi indera penciumannya dengan lengan kiri. Cewek itu terbatuk. "Lo ngapain ngajak gue kesini sih?"

"Gue gabut." Altezza menjawab kalem. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan satu batang rokok. Cowok bermarga Gillova itu menyalakan pemantik dan membakar ujung rokoknya. Dia mengabaikan tatapan tajam Zee yang menghujamnya. "Ada masalah?"

"Lo masih enam belas tahun, Ez."

"Sebentar lagi gue tujuh belas." Altezza menjatuhkan pemantiknya dan menghisap batang rokoknya —santai. Sedetik kemudian, cowok itu menertawakan kalimatnya. Tujuh belas, ya?

Zee terbatuk ketika paru-parunya terisi oleh asap rokok. Dia berniat menjauh, tapi gerakannya terhenti ketika Altezza tiba-tiba mencengkeram pinggangnya dengan satu tangan —terlihat bosan. Zee bisa merasakan kuku tajam cowok itu menembus kulitnya hingga meninggalkan bekas. Dia mendesis. "Lo melukai gue."

"Nggak." Altezza mendekatkan wajah, menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke bibir Zeegrey. Zee menjilat bibirnya yang mendadak kering. Altezza tertawa pelan. "Gue mau lo pingsan."

"Apa-"

"Itu permintaan gue."

"Lo gila-"

"Gue nggak waras."

Altezza dan Zee saling menatap tajam satu sama lain selama beberapa detik. Cowok bermarga Gillova itu melepaskan cengkeramannya dan memundurkan langkah. Matanya yang dingin seolah mengisyaratkan, 'Gue mau lo pingsan. Sekarang'.

"Omong kosong." Zee berbalik memunggungi Altezza. Dia meluruskan pandangan dan melihat banyaknya hewan menjijikkan yang menghalangi langkahnya. Zee menunduk, melihat sepatunya. Mayat kecoa dan hewan-hewan kecil lainnya menyatu dengan alas kakinya. Zee membunuhnya. Tidak- "Gue nggak sengaja- Ya, Tuhan. Gue bahkan nggak tau mereka ada sebanyak itu."

Altezza menghembuskan asap rokoknya dan terbatuk. Dia menyentuh lehernya. Tenggorokannya terasa terbakar dan paru-parunya seakan ditekan dari arah berlawanan. Dia kesulitan bernapas. Tapi sebanyak apapun Tuhan mencoba menyadarkannya, Altezza tetap akan melanggar batasannya.

Zee melepaskan sepatunya dan mengeluarkan sebagian mayat hewan yang menempel di bawahnya.

Sementara Altezza membungkuk, terbatuk. Dia tertawa hambar dan kembali menghisap batang rokoknya dengan satu kali tarikan napas. Bibirnya membiru. Meskipun menyakitkan, Altezza menyukainya.

"Menjijikkan." Zee kembali memakai sepatunya dan memiringkan kepala. Altezza terlihat seperti penderita sesak napas parah. "Lo mau mati, ya?"

"Nggak kok. Gue belum mau mati." Altezza menegakkan tubuh. Dia hanya suka menantang maut. Cowok itu terbatuk dan tertawa serak dalam satu waktu. "Jangan khawatir."

"Gue nggak khawatir, sial."

"Oh, ya?" Altezza tersenyum mengejek. Dia kembali menghisap batang rokoknya dengan ekspresi dingin.

Zee memalingkan wajah.

Altezza tersenyum —melihat reaksi Zeegrey. Hidung mancungnya seperti menahan napas. Bibir tipis kemerahan itu nampak bergetar, seolah ingin menghentikan aksi nekat cowok bermarga Gillova itu.

Altezza melangkah, menipiskan jarak diantaranya dan Zeegrey. Ujung sepatu kedua remaja itu saling bertemu. Altezza terbatuk. Dia tidak berhenti berkeringat dingin. Zee yang melihat hal itu spontan mencengkeram pergelangan tangan Altezza yang menggenggam rokok.

Cowok itu mendesis. "Kenapa?" Altezza terbatuk lagi. "Lo takut gue mati?" dia mendekatkan wajahnya dan menaikkan dagu Zee dengan jarinya. Dari mulutnya tercium aroma asap. Jarinya menekan dagu Zee saat dia mengucapkan kata "mati"

Tubuh Zee menegang. Dia kehilangan kata-kata. Mata Altezza yang kelam, menghujamnya.

"Kematian lo bukan urusan gue," kata Zee dengan suara tertahan.

Altezza terkekeh sinis. Cowok itu menepis tangan Zee dan memenjarakan batang rokoknya di antara bibir bawahnya yang tebal. Darah hangat menetes dari luka lama yang sekarang terkelupas lagi. "Kemarikan tangan lo." Altezza tidak memberikan Zee waktu untuk menolak dan langsung meraih tangan cewek itu —memaksanya menggenggam ujung rokoknya yang membara.

Zee mendesis. Telapak tangannya melepuh.

"Sakit, ya?" Altezza membungkuk mendekati Zee sembari menyipitkan mata seakan hendak memeriksa lukanya. Ada senyum terukir di sudut bibirnya. Altezza mendekat, sampai-sampai mereka menarik napas dari udara yang sama. "Pasti sakit banget."

"Ini-" Zee menjatuhkan rokoknya dan menggenggam lukanya. Dia mendongak bersamaan dengan Altezza yang menunduk. Cowok itu mengunci tatapannya. Zee menekan luka sobek di bibir Altezza yang semerah darah. Salah satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum miring. "Nggak sakit sama sekali."

1k word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang