Purnama berjalan sendirian bagai mayat hidup, mengabaikan luka di pergelangan tangannya yang disayat pisau. Cowok bermarga Ilusi itu menghentikan langkahnya menyusuri koridor saat seseorang mencekal lengannya dan menariknya memasuki lab kimia. "Apa yang lo lakukan dengan berjalan di kondisi lo yang sekarat." Fana mencengkeram dagu Purnama, memaksanya untuk mendongak.
Purnama memejamkan mata. "Cuma luka kecil."
"Apa kata lo? Cuma luka kecil?" Fana terkekeh —menunduk menatap darah Purnama yang mengucur deras mengotori lantai. "Luka lo bukan luka kecil. Darahny-"
"Sudah sembuh."
"Apa? Sudah sembuh? Omong kosong apa-"
"Hei," suara serak seseorang menghentikan kalimat Fana. Purnama meluruskan pandangan dan melihat Filosofi berdiri di depan pintu lab kimia, menatap kedua remaja itu dengan tatapan tidak terbaca. "Gue ganggu, ya?" tanyanya kalem.
"Nggak." Fana melepaskan cengkeramannya dan berbalik memunggungi Purnama. Dia menatap Filosofi. "Sejak kapan lo berdiri-"
"Sejak kapan lo peduli dengan kondisi sahabat gue?" Filosofi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Padahal lo sendiri nggak pernah peduli sama kondisi cowok lo sendiri."
"Cemburu?"
"Pertanyaan yang bodoh, Fan." Filosofi terkekeh sarkastik dan berbalik pergi menuju ruang musik.
Purnama menajamkan tatapan, dia melihat tangan Filosofi mengepal, guratan samar bahkan kedapatan menghiasi pangkal hidung serta dahi cowok bermarga Kanaka itu. Fana menyimpulkan, "dia marah."
_LUKA_
Terdengar suara klik pintu tertutup dan semuanya langsung membeku. Udara di kelas ini dingin. Zee bisa mengatakan partikelnya memasuki paru-paru. Cewek bermarga Grey itu mendekat ke Altezza sehingga lengan kedua remaja itu saling bersentuhan dan dagu Zee ada di bahunya.
Altezza tidak beraksi.
Zee melirik cowok itu sekilas. Dia terduduk kelelahan. Sesekali mendesis, memejamkan mata -menahan sakit.
"Ezz," ragu, Zee menyentuh perban luka di kepala belakang Altezza -khawatir. "Lo ok?" Altezza tidak mengatakan apapun. Usapan lembut pada luka di kepalanya membuat rasa sakit cowok itu sedikit teralihkan. Zee menopang dagunya dengan satu tangan, menatap mata Altezza yang tatapannya kini terarah lekat ke arahnya."Lo keren."
"Gue tahu." Sial. Cowok itu tetap terlihat keren meskipun nggak tau malu.
Di sisi lain, semua siswi yang berdiri di sekitar koridor bergegas memasuki kelasnya masing-masing. Melihat kehadiran Cadenza yang seakan menjadi sebuah ancaman bagi mereka. Cadenza Gabriel, gadis cantik yang terkenal sebagai tukang bully sekaligus pembuat onar di sekolahnya. Para guru tidak bisa mengeluarkan Cadenza meskipun mendapatkan banyak teguran dari orang tua murid yang gadis itu bully. Salah satu alasannya adalah karena prestasi Cadenza Gabriel yang tidak bisa dianggap main.
"Tunggu." Cadenza mencengkeram lengan Salsa, salah seorang siswi popular di SMA Gatlantra. Salsa memeluk tas ranselnya erat-erat. Tubuhnya mendadak gemetaran. "Lo ketakutan. Kenapa?"
"Ng-gak apa-apa. Aku mau pulang."
"Lo ketakutan. Kenapa." Cadenza mengulangi pertanyaan yang sama.
Salsa terdiam. Satu hal yang pernah dia pelajari ketika berhadapan dengan Cadenza adalah; jangan berbohong. "Mu-ka kamu nyeremin kayak nenek-nenek."
Cadenza tertawa. Tawa yang terdengar janggal nan mengerikan di telinga Salsa. "Oh, ya?" Cadenza tidak memberikan Salsa waktu untuk menjawab dan langsung menghajar bibirnya kuat hingga membuat wajah cewek itu menoleh ke samping dengan bekas memerah akibat pukulan.