SEVENTY FIVE

8.7K 2.4K 962
                                    

Lautan dan Rain berjalan bersisian melewati lorong sekolah sembari menyeret ransel Altezza menuju lapangan. Kedua anak itu menghentikan langkah usai mendengar suara aneh dari dalam toilet cowok di ujung lorong. Terdengar seperti suara desahan. Rain dan Lautan menatap satu sama lain, heran. "Suara apa?"

"Nggak tau. Mungkin, hantu." Rain mengangkat bahu.

Lautan cemberut. "Hantu itu, apa?"

"Makhluk astral yang nggak kasatmata."

"Makhluk astral itu, siapa?"

"Semua makhluk yang nggak kasatmata atau yang eksistensinya nggak dapat dijangkau oleh panca indera manusia."

"Tuhan, nggak kasat mata. Apa dia juga termasuk makhluk astral?"

"Kenapa kamu malah ngomongin makhluk astral sih?!" Rain marah. Dia berlari melewati Lautan dan jatuh ketika tanpa sengaja menabrak punggung seorang cowok. Anak laki-laki itu berhenti dan membantu Rain berdiri. "Kamu nggak apa-apa?" Tanya anak itu, khawatir. "Perlu ke rumah sakit?"

"Nggak. Aku nggak apa-apa." Rain tersenyum lemah. "Kamu Elo, kan?"

Elo tertawa serak, kemudian mengangguk. "Aku pikir, kamu nggak kenal aku."

"Woi!" Lautan murka. Dia berlari cepat dan mendorong anak laki-laki itu menjauhi Rain.

"Lautan, kamu apa-apaan?!" Rain balas mendorong Lautan.

"Tadi kamu senyum ke cowok lain. Aku nggak suka!" Lautan berteriak lalu membanting tas ransel Altezza hingga semua isinya berhamburan keluar. Tanpa berkata sepatah kata pun, anak itu berlari melewati Rain menuju ruang musik, tempat Cadenza berlatih. Sesekali berhenti saat merasakan jantungnya seperti diremas kuat dengan detak jantung yang tidak beraturan.

Rain menghela napas lelah. Tidak apa-apa. Sudah biasa. Dia dan Lautan memang sama-sama keras kepala.

Di sisi lain, Cadenza menghentikan petikan gitarnya saat mendengar suara Lautan berteriak memanggil namanya. "Cadenza. Sakit!" Dia menghela napas panjang dan berlari keluar ruang musik dan tercekat saat melihat Lautan sudah berjongkok di dekat tong sampah sambil menangis. "Lautan. Lo kenapa?" Cadenza berjongkok di depan anak itu. Lautan menggeleng lemah dan menyentuh dadanya sendiri. "Sa-kit. Rasanya kayak mau mati."

"Astaga." Cadenza menggendong Lautan dan membawa anak itu ke dalam pelukan. "Itu nggak lucu."

"Ta-pi aku mau seperti Altezza." Lautan terisak-isak. "A-ku mau mati seperti dia."

"Dia nggak mati."

"Dia udah mati!" Lautan berteriak keras di samping telinganya. Dan Cadenza berusaha menulikan pendengarannya. "Di tasnya ba-nyak mati. Di-a udah ma-ti banyak kali. Se-dangkan aku baru sekali." Lautan menangis kembali.

"Itu darah. Bukan mati."

"Tolol. Cadenza tolol!" Lautan memaki. Dia menarik rambut Cadenza hingga rontok. Bukannya marah, cewek itu malah mendekap Lautan semakin erat. Dia memejamkan mata, membiarkan Lautan menarik rambutnya hingga terlepas dari akar. Setelah lelah, Lautan membenamkan wajahnya di perpotongan leher Cadenza sambil bergumam, "aku yang tolol."

Cadenza terkekeh. "Memang lo tolol."

"Tapi aku ganteng," bisiknya.

"Tapi tolol."

"Cadenza lebih tolol." Lautan menggigit pundak Cadenza, kemudian berhenti. Dia memajukan bibirnya, cemberut. "Nggak. Aku yang tolol."

Cadenza mencium pipi Lautan, gemas. Dia menoleh saat mendengar beberapa percakapan dari anak basket yang baru saja keluar dari lapangan. Zero berada di barisan pertama, disusul Filosofi, Purnama, Meteor dan yang lainnya. Mereka terlihat sedang memikirkan sesuatu hal. Entah itu apa. Tanpa di duga, salah satu dari mereka berjalan ke arah Cadenza dan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. "Omong kosong."

"Gue serius," cowok itu tersenyum miring. Dan ekspresi santai diwajah Cadenza berangsur dingin.

_LUKA_

"Maksud lo, kita pacaran?"

"Sejak kapan kata 'punya' berarti pacar?" Altezza terkekeh. Dia melepaskan pelukannya. Penerangan diantara mereka hanya lewat cahaya bulan yang masuk menembus celah-celah dedaunan. "Selama gue belum nembak lo, status kita masih abu-abu. Lo cewek gue. Gue cowok lo. Lo punya gue. Tapi gue bukan pacar lo."

"Apa?"

Altezza menarik napas dalam-dalam. "Singkatnya, kita nggak pacaran."

"Brengsek. Lo pikir gue nembak lo karena apa?" Zee tertawa tanpa humor kemudian menggeleng. "Bukan. Bukan karena gue suka lo. Apalagi cinta. Tapi karena gue tau hidup lo nggak akan bertahan lebih lama dan," dia tersenyum miring. "Sebentar lagi, lo mati, kan?"

"Ya." Pupil kelabunya langsung menggelap. Ekspresi santai diwajah Altezza berangsur dingin. "Dan sebelum itu benar-benar terjadi, mau janji satu hal sama gue?" Zee tidak mengatakan apapun dan membiarkan Altezza menyelesaikan kalimatnya. "Jangan suka apalagi cinta sama gue." Altezza mendekat, menipiskan jarak diantara mereka. Dia mengunci tatapannya. "Dan jangan buat gue sayang sama lo."

"Atau-"

"Lo mati di tangan gue," potong Altezza cepat. Kedua remaja itu saling menatap tajam, kemudian tertawa.

"Karena lo nggak mau cewek yang nantinya lo sayang bakalan peluk cowok lain setelah kematian lo." Zee mengangguk. Dia mengingat kembali percakapannya dengan Altezza beberapa waktu lalu. "Egois tapi romantis."

Setiap orang adalah bulan, dan memiliki sisi gelap yang tidak pernah ditunjukkannya kepada siapapun. Kedua remaja itu tidak paham, kenapa perasaan mereka begitu rumit dan sulit? Pertemuan mereka begitu singkat dan abstrak. Tapi kenapa rasanya seperti mereka sudah saling mengenal? Seperti dua anak kecil yang dipisahkan dan kembali dipertemukan di masa remaja. "Sebuah pertemuan yang diawali dengan luka dan berakhir dengan darah." Dan jejak yang membekas, apakah akan benar-benar hilang?

"Gue.." Zee meringis. "Nggak paham. Serius."

Altezza menggeleng. Dia melepaskan hodienya yang hangus di bagian punggung. Altezza mengangkat kaos basketnya sebatas dada, memperlihatkan luka gigitan Zee yang membekas. Cewek itu menahan napas. Dia tanpa sadar menyentuh dada telanjang Altezza yang berkeringat. Untuk sesaat, Altezza memejamkan mata, merasakan jari-jari Zee yang lembut dan halus di permukaan kulitnya. Cowok itu mengerang -meraih tangan Zee dan membawanya ke area pinggulnya yang terluka. "Elus disini."

Bukannya mengelus, Zee justru berlutut dan mensejajarkan posisinya untuk menatap luka di pinggul Altezza yang diperban. Dia menyentuhnya dan mengusapnya pelan. Hati-hati. Seakan takut jika itu akan melukai cowoknya sendiri. "Gue curiga. Kalau gue mati lebih awal, lo bakalan kangen nyentuh badan gue kayak sekarang." Altezza terkekeh.

"Kalau lo mati lebih awal, gue bakalan nyari cowok lain yang lebih panas dari lo." Zee menjulurkan lidah. Dia tertawa ketika Altezza menyentil keningnya dan menciumnya. "Gue bakalan kangen banget sih kalau lo udah nggak ada." Zee meraih tangan Altezza dan menggenggamnya. Keduanya saling menggenggam. "Meskipun kita nggak pacaran, meskipun kita nggak saling suka apalagi cinta, tapi sosok lo di mata gue benar-benar melekat." Cowok itu mengunci tatapannya. Membuat Zee tau kalau dia sudah tidak bisa lagi tanpa Altezza.

Altezza terdiam. Dia berpikir beberapa saat, lalu menghela napas. "Gue benci lo."

"Gue juga sayang lo."

"Nggak apa-apa." Altezza menyibak rambut Zee dan menyentuh keningnya. "Asalkan jangan gue yang sayang sama lo."

1,03k word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang