Zee berjalan pincang ke arah motornya yang terparkir di halaman depan rumah sakit, mengabaikan salah seorang Security yang menyuruhnya untuk berhenti. Dia memasang helm full face-nya usai Seurity itu berlari untuk mematikan mesin motornya. Napasnya memburu cepat. "Kamu... nggak takut kecelakaan?"
"Takut?" Zee bergumam pelan, "gue nggak pernah takut sama apapun."
Security itu kehabisan kata-kata. Dia menggeleng usai Zee kembali menyalakan mesin motornya. "Pacar kamu—"
"Gue nggak punya cowok," alis Zee bertaut. "Boleh gue pergi?"
Security itu mengangguk kaku dan mundur menjauh. Sementara Zee segera melajukan motornya dengan kecepatan sedikit melebihi batas menuju sekolah, berniat untuk memberikan Altezza pelajaran atas kejadian yang membuat kakinya mengalami patah tulang.
"Woi!" suara teriakan itu terdengar janggal. Deruman motor di belakang punggungnya membuat Zee segera menoleh dan mendapati gerombolan anggota geng motor yang mengikutinya dari arah belakang. Dari jaket yang mereka kenakan, dia dapat memastikan jika mereka semua merupakan anggota geng motor yang mencegatnya di depan Waza beberapa waktu lalu. Zee berdecak sebal. Dia pikir mereka mengincarnya karena salah orang. Ternyata dugaannya salah besar.
"Fuck off," cewek itu menambahkan kecepatan motornya dan nyaris menabrak salah seorang anggota geng motor lain di depannya. Dia berhenti. Dan cowok itu balas menendang roda depan motornya berulang kali. "Turun!"
Bukannya turun, Zee justru balas menendang roda depan motor cowok itu hingga terbanting. Dia berdiri, berteriak marah. "Woi!"
"Apa?" Zee menanatang. Dia kelihatan tenang.
"Lo cari mati, hah?!"
"Gue minta maaf."
"Lo sengaja!"
"Iya, ada masalah?"
Cowok itu mengepalkan kedua tangannya, berniat untuk menghajar Zee. Tapi cewek itu dengan segera menahan tangannya di udara dan memutarnya tanpa belas kasih, membuat tulang lengannya nyaris lepas dari daging. "ARRGGHHH!!" Zee menarik napas dalam-dalam dan melepaskan cekalannya. Dia tertawa serak usai melihat tulang lengan lawannya bergeser ke belakang, tidak bisa digerakkan.
"Mampus." Zee beralih menatap dua cowok di hadapannya tanpa emosi. "Apa?"
Salah seorang cowok itu terkekeh, tersenyum sinis. Zee yang menyadari situasi pun berniat kabur dari tempat itu. Tapi terlambat. Sebab motornya sudah lebih dulu dikepung. Dia menatap sekitar. Dua belas motor terparkir di sekelilingnya, membentuk formasi acak. Dia kalah jumlah. Jika memutuskan melawan, dia sudah pasti kalah. "Ergh, bisa nggak sih, nggak usah main keroyokan?"
"Nggak bisa," sewot salah seorang dari mereka.
"Ok. Terserah." Zee menghela napas lelah. "Menyingkir dari jalan. Gue harus cepat-cepat ke sekolah."
Gerrald melangkah mendekat dan mencengkeram pundak Zee. Tatapannya terkunci pada simbol aneh di dekat kuncinya. Simbol yang sama dengan simbol yang ada di sepeda adiknya, Gracia. Simbol yang menandakan jika dia adalah milik seorang Jejak Altezza Gillova. "Lo cewek barunya Altezza?"
"Bukan."
Tatapan Gerrald terjatuh pada gelang yang terpasang di pergelangan tangan Zee. Terlihat familiar dan tidak asing di matanya. Hal itu membuat cowok itu semakin yakin jika dia adalah cewek yang selama ini Altezza lindungi. "Bohong." Gerrald beralih mencengkeram pergelangan tangan Zee hingga memerah. Persetan dengan gelangnya, tapi simbol yang ada di dekat kunci motornya —Simbol yang digunakan Altezza untuk memperingati lawannya agar tidak menganggu pacarnya setelah kematian Gracia.
Zee mendesis geram. "Kalaupun gue ceweknya Altezza, terus kenapa? Dan kalaupun bukan, apa masalahnya?"
"Dia masalahnya. Karena semua orang yang berurusan dengan Altezza," cowok itu mensejajarkan posisinya untuk menatap mata cewek di depannya. "Juga akan berurusan dengan musuhnya."
_LUKA_
"Altez.." Zee mencengkeram erat seragam basket Altezza saat cowok itu masih sibuk menghisap darahnya. Dia tercekat kala merasakan tangan Altezza meluncur menuruni lehernya. Cewek itu gemetar dengan napas tersengal. Tangan Altezza dengan lembut beralih ke bahu Zee, kemudian berhenti. Detik demi detik berlalu. Altezza perlahan menjauhkan bibirnya dan menyimpan darah cewek itu di bawah lidah.
"Jangan gila." Zee menarik dagu Altezza hingga kedua sisi pipi cowok itu terjepit diantara jarinya, "muntahkan."
"Mmm.. hm." Altezza menggeleng seperti anak kecil.
"Sekarang."
Altezza lagi-lagi menggeleng dengan wajah memelas yang dibuat-buat. Tatapan Zee berubah tajam. Altezza memajukan bibirnya, cemberut. Cowok itu membuka mulutnya dan merasakan cairan kental perlahan keluar melewati bibir. Dia tidak mengatakan apapun. Hanya menatapi satu-dua tetes darah yang mulai jatuh melewati leher.
Purnama dan beberapa anak basket lainnya berlari menghampiri Altezza yang baru saja memuntahkan darahnya ke lantai. Ketujuh cowok itu mengeram marah, menahan emosi. Altezza menjilati sisa darah Zee yang membekas di bibirnya dengan ekspresi santai. "Mau lagi."
692 word.