ONE HUNDRED

6.7K 1.6K 339
                                    

"Thanks, Bee."

"Berhenti panggil gue, Bee." Altezza memutar mata. Luka tersenyum miring. Dia membantu cowok itu melepaskan kaitan helmnya yang terkunci, kemudian mendorong pundak Altezza menjauh. "Badan lo bau." Altezza mengangkat satu alisnya. Dia membaui tubuhnya sendiri. Dahinya mengernyit, Luka terkekeh. Dia menarik kerah depan jersey basket Altezza, kemudian menyentuh pipi cowok itu dengan bibirnya yang dingin. Altezza mundur selangkah. Dia mencengkeram leher Luka dan mengepalkan tinju. "Berhenti cium gue," desisnya berbahaya.

Luka menjilat bibirnya yang mendadak kering. Dia menyentuh pinggul Altezza yang diperban. Cowok itu menyipitkan mata, curiga. Detik yang sama, Altezza berteriak kesakitan ketika Luka dengan tiba-tiba meninju lukanya. Kata-kata mendekam di kerongkongannya. Pembuluh darah Altezza seperti meradang. "Ka!"

"Apa?" Luka tertawa. "Daripada dicium, lo lebih suka badan lo dipukul, kan?" dia tersenyum mengejek, dan tanpa berkata sepatah kata pun, dia berlari cepat menjauhi cowok itu. Altezza menyentuh pinggulnya dan mengulum senyum. "Ya."

Filosofi dan teman-temannya menggeleng tidak habis pikir. Mereka kompak memutar mata, menatap kaki Buana -prihatin. "Kaki lo cedera."

"Dan gue nggak lumpuh."

Filosofi mendecih. Cowok itu menyibak rambutnya yang menutupi dahi dan berjalan lebih dulu memasuki lapangan indoor, disusul Antara dan Guruh. Argen mengikutinya. Dan Filosofi mempercepat langkahnya, terlihat menjaga jarak.

"Ya, Tuhan. Lepaskan. Gue masih bernapas." Altezza melepaskan pelukan di lehernya. Teman-temannya memeluknya dari belakang.

"Untuk saat ini," mereka menjawab malas dan menarik sang leader memasuki lapangan. Altezza dan teman-temannya menjatuhkan tas nya ke lantai. Mereka berusaha menulikan pendengaran ketika semua orang di dalam lapangan berteriak, menyambut kedatangan mereka. Kecuali satu orang yang duduk di tribun penonton paling belakang, Luka. Dua pelatih terus berbicara tapi Altezza hanya menatap Luka.

Sebuah tangan menyentuh luka perban di kepalanya dan Altezza tersentak. Dia berbalik, melihat Grace yang menatapnya dengan prihatin. "Lo punya banyak musuh, Altez?"

"Hm." Altezza mengangguk. Dia menggenggam tangan Grace di kepalanya dan mengusapnya pelan. "Selama ini, gue selalu melihat lo sebagai sosok Gracia."

"Apa lo merasa bersalah karena itu?" Grace mengangkat satu alisnya. "Sedikit." Kedua remaja itu sama-sama terkekeh. Persahabatan mereka sudah tidak se asik dulu. "Lo jarang- bahkan nggak pernah punya waktu untuk gue." Grace mencengkeram Jersey basket cowok itu. "Kenapa?"

"Bukannya sebaliknya?" Altezza balik mencengkeram Jersey basket Grace.

"Nggak. Itu, lo."

Altezza dan Grace tidak menyadari jika perkelahian mereka di tengah lapangan basket menjadi tontonan para teman-temannya dan juga kedua tim dari sekolah lain. Kedua remaja itu saling melemparkan tatapan tajam dan permusuhan yang jelas. Tidak ada yang mau mengalah sebelum akhirnya Filosofi dan teman-temannya menarik Altezza mundur menjauhi Grace. "Lo mengganggu konsentrasi kapten tim kami."

Grace mendecih. "Ini bukan pertama kalinya buat gue dan Altez."

"Seenggaknya jangan sekarang, brengsek." Antara berusaha mati-matian mengontrol emosinya.

Grace memutar mata, kemudian berjalan melewati Altezza menuju teman-teman satu teamnya. "Apa lo nggak takut di hajar Altezza?" tanya Kezia, cewek yang menjabat sebagai ketua cheerleader di sekolahnya.

"Dia nggak akan berani menghajar gue." Bagi Altezza, menyakiti Grace sama dengan melukai Gracia.

Filosofi mundur selangkah. Altezza dan teman-temannya kompak terkekeh setelah menyadari jika cowok itu sedang menjaga jarak dari Argen.

"Kenapa lo?"

"Nggak. Memangnya gue kenapa?" Filosofi mengelak.

Purnama tersenyum mengejek. Dia kemudian membisikkan sesuatu di samping telinga Argen. "Ini kesempatan terakhir," gumam Purnama tanpa berpikir. Argen terlihat ragu-ragu. Tidak yakin ketika dia mendorong dirinya sendiri ke arah Filosofi dan mengalungkan tangannya ke bahu cowok itu. Purnama dan teman-temannya kompak menyembunyikan wajah dibalik Jersey basket. Ragu, Filosofi balas memeluk Argen.

Semua orang yang berada di dalam lapangan melotot tidak percaya. Dua cowok yang memiliki paras nyaris sempurna, "mereka nggak mungkin gay, kan?"

"Fana, cowok lo.."

Kezia membekap mulutnya sendiri. Dia nyaris tidak berkedip. Sementara Fana yang menyaksikan hal itu, tersenyum geli. Pacarnya pasti tidak sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Seperti dugaannya, "Apa-apaan lo?" Filosofi berbisik, tapi tetap tidak melepaskan pelukannya.

"Ini kesempatan terakhir, kan? Karena setelah pertandingan basket berakhir," Argen menelan ludahnya yang tercekat di tenggorokan. "Gue akan keluar dari ekskul basket dan kita nggak akan lagi punya alasan untuk berkomunikasi."

"Kita masih satu geng motor. Ingat?"

"Gue udah bukan bagian dari kalian." Dua hari lalu, Argen sudah melepaskan kedudukannya dan keluar dari geng motor. "Gue sudah bukan bagian dari anak Trigger. Maaf, Los." Argen melepaskan pelukannya. "Gue terpaksa. Karena ini satu-satunya cara supaya gue bisa berhenti menyukai lo."

Obrolan kedua remaja itu terhenti ketika wasit tiba-tiba membunyikan peluit. Altezza merogoh saku celana basketnya, mengambil bandana merah lalu memasangkan benda itu ke lengan kirinya. Buana melepaskan headbandnya dan mengikatnya kuat, menutupi dahi Altezza yang memiliki bekas luka. "Lo sakit, Ez."

Altezza tersenyum mengejek. Ujung sepatu cowok itu menyentuh kaki Buana, setengah menendang. "Urus-urusan lo sendiri."

_LUKA_

Filosofi terkekeh sarkastis. Ghava dan timnya melangkah ke wasit, berhadapan dengan kapten tim lawan yang menampilkan wajah datar, tanpa ekspresi. Zero dan Meteor memutar mata ketika Ghava dan timnya mengakui kecurangannya.

Waktu pertandingan telah berakhir. Terjadi skor yang sama pada belakang pertandingan dan wasit mengadakan perpanjangan waktu hingga terjadi selisih skor. Di selang dua ronde tambahan terdapat waktu istirahat selama 2 menit. Waktu untuk lemparan ke dalam adalah 5 detik. Ghava dan timnya memenangkan pertandingan dengan cara curang. Dan memutuskan untuk mengakui kekalahannya setelah piala berada di genggaman pelatihnya.

"Maaf." Ghava dan teman-temannya membungkuk.

Altezza dan timnya tidak mengatakan apapun. Mereka berjalan melewati Ghava, melangkah pincang menghampiri dua pelatih yang sudah menunggunya. Ghava dan timnya menang karena mencederai semua pemainnya.

"Sekarang, nggak hanya gue yang cedera." Buana tertawa pelan. Mereka semua duduk dan melemaskan otot kaki, menatap ke arah dua pelatih tim Ghava yang sedang merayakan kemenangan timnya. Altezza dan Teman-temannya tersenyum mengejek, kemudian mengangkat bahu. "Itu hanya piala kosong. Kita punya banyak di sekolah."

Dua pelatih timnya menepuk pundak pemainnya bergantian. Daripada kecewa, mereka lebih merasa kagum. Karena Altezza dan teman-temannya tetap melanjutkan permainan bahkan ketika kaki mereka mengalami cedera.

"Huft."

Luka mengeluarkan ponsel dari saku dan mematikannya, menghemat baterai yang sudah kurang dari sepuluh persen. Dia melihat ke bawah, ke arah Altezza yang juga sedang menatapnya. Cowok itu diam, tapi matanya menjelaskan. Perutnya terasa tidak enak dan dia beberapa detik lagi akan muntah.

Filosofi yang menyadari hal itu menggeser duduknya, mengulurkan tangan, mengusap kepala dan punggung Altezza -perhatian. "Mau muntah, hm?"

"Nggak." Altezza menjawab malas dengan punggung tangan menutup mata dan tengkuk bersandar ke pundak sahabatnya. Dia berusaha menelan kembali cairan asing yang berdesakan ingin keluar dari lehernya. Udara tertahan di paru-parunya. Telapak tangannya berkeringat. "Ergh, apa-apaan?" Altezza mengerang. Dia membekap mulutnya. Cowok itu muntah-muntah. Altezza menggigit bibirnya, menatapi satu-dua tetes cairan asing, mirip lendir yang mulai jatuh melewati leher. Dia merasa seperti angin baru saja terhempas dan menembus tubuhnya. Altezza mencengkeram lengan Filosofi dan akhirnya menarik napas, menghembuskannya dengan gemetar. "Gue baik-baik saja. Gue masih bernapas."

1k word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang