EIGHTEEN

33.8K 7.4K 5.6K
                                    

"Mmm.. hmm.. Mmm!!" Kevlar menjatuhkan diri ke bawah lantai kelas -berusaha mencari ujung lakban yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Napas cowok itu tercekat karena oksigen yang masuk ke paru-parunya terhambat. Dia kesulitan bernapas. "Mmm.. hmm.. Mmm!!"

Buana yang sedang mencoret papan tulis kelas segera menoleh ke arah Kevlar dan terkejut saat melihat cowok itu seperti akan kehilangan nyawa. Tanpa berkata sepatah kata pun, Buana langsung berlari cepat ke arah Kevlar dan menarik lepas lakban hitam itu secara paksa. Dia agak kesulitan karena lakban itu seakan menyatu dengan kulit Kevlar. "Bngst!"

"Apa-apa nggak gue," Kevlar menepuk-nepuk dadanya sendiri ketika lakban itu sudah terlepas dari kulit. Napas cowok itu tersendat. "Mati nggak gue."

Fana melemparkan satu botol air mineral ke arah Buana dan langsung di tangkap cepat oleh cowok itu. "Minum, Kev." Kevlar membuka bibir dan meminum rakus air mineral yang disodorkan Buana sekali teguk. "Dada lo sakit, nggak?"

Kevlar menggeleng. "Lo sama gue suka, ya?" Buana menatap cowok itu tajam dan kembali menempelkan lakban hitam itu ke wajah Kevlar. "Najis."

_LUKA_

Altezza mengerang, masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Salah satu matanya terbuka, setengah sadar. Pandangannya terlihat sedikit berbayang. "Nghh.."

"Lo, ok?" Pertanyaan Zee membuat Altezza perlahan menegakkan tubuh dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Cowok itu bersin saat debu tidak sengaja masuk ke dalam rongga hidung. Hidung Altezza memerah, matanya berair seperti anak kecil yang baru saja berhenti menangis. Dan jujur, hal itu terlihat, "Lucu."

Ketika Altezza baru akan mengatakan sesuatu, terdengar suara janggal dari perut cowok itu. Sesaat, Zee dan Altezza sama-sama bengong. "Lo lapar?"

Altezza tidak menjawab. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas dan terkejut saat menyadari jika yang tersisa di kelas ini hanya dia dan cewek disebelahnya. Altezza segera menunduk, menatap jam tangannya sendiri, pukul empat sore. Lalu tatapannya beralih pada Zee yang menatapnya polos. "Selama 4 jam gue bobo, lo udah apain gue?" Zee tidak mengerti. "Nggak usah sok polos. Gue tau otak lo kotor."

Zee mendecak. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia segera memasukkan bukunya ke dalam tas dan melangkah keluar kelas. Tapi sebelum itu, dia melemparkan headband hitam yang terikat di dahinya ke arah cowok itu. Altezza menangkapnya dan mengikatnya di dahinya yang memiliki bekas luka sebelum akhirnya ikut melangkah keluar kelas. Altezza berjalan melewati koridor sekolah. Ketika dia akan berbelok ke arah kanan, tiba-tiba cowok itu merasakan sesuatu yang dingin dan basah mengenai kaos basket yang dikenakannya. "Argh, shit!"

"Maaf, maaf... aku nggak sengaja." Altezza menghela napas kasar, lalu mendongak menatap orang yang sudah dengan berani menumpahkan jus jeruk di kausnya. Dia, Bego.

"Lo punya mata?" Altezza berdesis. Bego menunduk, ketakutan. Seluruh tubuhnya mendadak gemetaran. "Ja-ngan pukul Bego. Nan-ti Bego nangis."

"Gue nggak peduli lo nangis ataupun mati."

"Ta-pi-"

"Buka seragam lo," potong Altezza cepat. Bego menggeleng kuat. Satu tangannya memelintir ujung kaosnya yang bolong. "Ng-gak mau."

"Sekarang," suara Altezza berubah tajam. Mau tidak mau, Bego melepaskan seragam sekolahnya yang lusuh. "Injak." Bego tidak mengerti. "Injak seragam lo sampai bolong."

"Ta-pi seragam sekolah Bego cuman tinggal ini doang. Kalau bolong, besok Bego sekolah pakai apa? Ayah Bego sakit dan nggak punya uang buat beliin Bego seragam baru," suara Bego bergetar.

"Lo pikir gue peduli?"

Menahan tangis, Bego menjatuhkan seragam sekolahnya dan menginjaknya tanpa tenaga. Ini adalah satu-satunya seragam yang Bego miliki. Bahkan, seragam lusuh itu sudah Bego pakai selama satu tahun lebih dan tidak pernah diganti. Ketika teman sekelasnya memakai seragam sekolah baru, Bego malah memakai seragam bolong yang kancingnya bahkan sudah hampir copot.

Setelah melihat beberapa sobekan pada seragam sekolah Bego, Altezza segera pergi meninggalkan cowok itu. Altezza bukannya tidak punya hati. Tapi hatinya memang sudah mati.

"Altezza jahat!"

Samar, suara Bego menembus indra pendengaran Altezza. Memilih mengabaikan, cowok itu kembali melanjutkan langkahnya hingga sampai di area parkiran SMA Gatlantra. Altezza meluruskan pandangan, melihat Zee yang sedang berjongkok di bawah salah satu ban motor. Dia beberapa kali terlihat mengusap wajahnya dan mengacak rambutnya, frustrasi. Cewek itu seperti sedang memikirkan sesuatu hal, entah itu apa. Dan tanpa sadar, kaki Altezza sudah melangkah mendekati Zee.

"Pergi," kata Zee tanpa menoleh sedikitpun ke arah Altezza. Dia membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya yang tertekuk.

Altezza bergeming. "Ban motor lo bocor, ya?"

Zee terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk pelan tanpa suara.

Altezza hanya ber-oh ria dan tanpa berkata sepatah kata pun, dia langsung menaiki motornya. Altezza memasang helm full facenya kemudian menunduk, menatap Zee yang terlihat tertekan. "Hei."

Luka bergeming.

"Luka," kata Altezza membuat Zeegrey sedikit mengangkat wajahnya. Mata cewek itu spontan terbuka, menyadari tangan Altezza ada di sisi kepalanya -bergerak turun dan mengusap keringat yang mengalir di dahinya, perhatian. Sesaat Zee lupa bagaimana caranya berkedip dan bernapas ketika Altezza menatapnya sayang. "Semangat dorong motornya sampai ke Apartemen, ya?"

786 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang