FORTY

17.1K 4.1K 468
                                    

Setiap yang bernyawa, pasti akan merasakan mati. Begitu pula dengan River, cowok yang beberapa hari lalu ditemukan tewas dengan sebagian tubuh hancur lebur akibat terlindas ban mobil truk. Kematiannya yang mendadak dan tragis membuat semua teman sekolahnya nyaris tidak mempercayai berita itu, termasuk Altezza yang sekarang duduk diam, menatap kosong ke arah makam River di depannya —jasad remaja enam belas tahun yang ditimbun tanah tanpa jiwa. Meskipun tidak terlalu dekat, dia tetap merasakan apa yang dinamakan, kehilangan.

Seseorang mencengkeram pundak Altezza. Dia mendongak, bertepatan dengan Purnama yang menunduk. Cowok bermarga Ilusi berbisik, "jangan pergi."

_LUKA_

Saat senja, sebelum matahari terbenam. Seluruh langit berwarna jingga.

Altezza dan keempat sahabatnya memarkirkan motornya berderet di pinggir trotoar, dekat dengan jembatan kota. Suasana trotoar terlihat sangat ramai dipenuhi anak-anak jalanan yang sedang mengamen, mencari nafkah.

Seseorang berkomentar, "penampilan fisik hanya sekilas dari apa yang sebenarnya nggak terlihat."

Buana meluruskan pandangan ke salah seorang anak jalanan yang duduk di ujung jembatan. Remaja yang dia perkirakan berumur dua belas tahun itu, balas menatapnya marah. "JANGAN TATAP GUA SEOLAH-OLAH GUA NGGAK PUNYA MASA DEPAN. GUA BUKAN SAMPAH!!"

"IYA. LO BUKAN SAMPAH. TAPI BEBAN NEGARA!!"

"NGGAK USAH NGACO!" Anak itu tertawa hambar. "BEBAN NEGARA DARIMANANYA? PEMERINTAH AJA NGGAK PERNAH NGE BIAYAIN HIDUP GUA. HARI INI GUA MAKAN ATAU NGGAK, GUA MATI KELAPARAN ATAU NGGAK, NGGAK ADA YANG PEDULI!" Anak itu berdiri dan berlari menuruni jembatan. Tidur tanpa alas dan bantal. Hanya berselimutkan koran bekas.

Buana menendang ban motornya, sebal. "Sial. Gue kan cuma bercanda."

Tidak ada sahutan.

"Fana!" Filosofi berteriak saat dengan samar melihat siluet Fana yang berdiri di dekat jembatan. Cewek itu tidak sendirian. Bersama Zee dan Abigail yang terlihat sedang memikirkan satu hal, entah itu apa.

Meteor memfokuskan tatapannya pada Abigail. Memanggil namanya bukanlah hal yang sulit untuk dia lakukan. Tapi untuk beberapa alasan, bibirnya tidak mau bergerak mengeluarkan suara.

Karena Abigail, terasa lebih jauh dari jarak yang bisa cowok itu lihat.

Filosofi berlari menyeberangi jalan. Fana yang melihat hal itu spontan berlari ke arah berlawanan, menyeberangi jalan menghampiri Purnama. "Fuck." Filosofi memaki. Dia merebut minuman dingin dari genggaman Abigail dan meminumnya.

"Itu bekas bibir gue." Abigail berkomentar datar.

"Kenapa. Ada masalah?" Filosofi meremas botol minuman di tangannya kesal saat melihat Fana bersembunyi di balik punggung Meteor. "Bi, gue boleh pinjam tangan lo?" belum sempat Abigail mengatakan sesuatu, Filosofi sudah lebih dulu meraih tangannya dan menautkan jari-jari tangan keduanya. Kedua remaja itu saling menggenggam.

Zee memutar mata dan berjalan pincang menyebrangi jalan, di susul Filosofi dan Abigail di belakangnya.

"Lo nggak cemburu, Teor?"

Meteor melirik Buana sekilas. Tatapan matanya yang dingin seakan mengisyaratkan sesuatu seperti, 'Kenapa gue harus cemburu.'

Tidak lama setelah itu, gerombolan anak geng motor memarkirkan motornya berderet di sisi Altezza. Salah seorang dari mereka melepaskan helmnya, menatap Meteor datar. "Meteol."

"Meteor. Bukan Meteol."

"Solly. Gue nggak bisa bilang L."

"R. Bukan L." Filosofi memutar mata, malas. "Cadel."

"Bialin. Yang penting gue nggak bisu kayak bokap lo."

Eiger yang mendengar hal itu dengan cepat membekap mulut kurang ajar Guruh agar tidak lagi mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti perasaan siapapun. "Menghina, mencela, atau mengolok-olok orang lain itu termasuk perbuatan yang terlarang. Diriwayatkan dari HR. Muslim no. 2587 dan Abu Dawud no. 4894. 'Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas'."

"Tapi Filosofi yang mulai. Celamahin dia lah. Jangan gue. Gue Kristen."

Eiger tertohok. Sementara Zee memfokuskan tatapannya pada satu-satunya cewek yang ada di tengah-tengah anak geng motor itu. Dia memakai jaket oversize. Tersenyum, memperlihatkan gigi ginsulnya yang terlihat manis. Cewek itu melepaskan jaket berlambang black fire-nya dan turun dari atas motor.

Dia, Cadenza Gabriel.

Filosofi dan teman-temannya kompak menelan ludah yang tercekat di tenggorokan. Jika tidak salah perkiraan, Cadenza seharusnya masih berada di Jepang usai mendapatkan exchange students Program. Selama tiga bulan kemarin, Cadenza menempuh pendidikan di Jepang.

Cadenza menipiskan jarak diantaranya dan sang leader. Ujung sepatu kedua remaja itu saling bertemu. Altezza menahan pundak Cadenza saat cewek itu berniat akan memeluknya. Dia tertawa hambar. "Kenapa, Ezz?"

Altezza tidak mengatakan apapun. Dia memejamkan mata ketika Cadenza tiba-tiba berjinjit untuk menciumnya. Seperti ada rasa geli saat gadis itu menyentuhnya, seakan Cadenza mengalirkan arus listrik melalui kulitnya. Cowok itu menahan napas ketika Cadenza lagi-lagi menyentuh hidungnya dengan bibirnya. Satu hal yang Altezza sukai dari gadis itu. Gigi ginsul Cadenza yang mirip dengan gigi ginsulnya.

"Ini," satu tangan Cadenza perlahan terjulur, meraba kepala Altezza yang diperban. "Nggak apa-apa, kan?"

"Cuma geger otak ringan."

"Cuma."

Altezza dan Cadenza saling menatap tajam, kemudian tertawa. Sementara Filosofi dan para anggota inti TRIGGERBLACK kompak melirik Altezza dan Cadenza dengan tatapan menyelidik. Alis sebelah kiri kelima cowok itu naik usai tatapan mereka tanpa sengaja terjatuh pada satu cincin yang terpasang di jari manis Cadenza. Itu sama persis dengan cincin yang terpasang di jari manis leadernya —Altezza.

"Hei," Fana dan Abigail merangkul pundak Zee. "Lo, ok?"

"Ya. Memangnya gue kenapa?" Zee tertawa tanpa humor. Cewek bermarga Grey itu memalingkan muka saat satu tangan Altezza perlahan turun, melingkari pinggang Cadenza. Dia merasa ada satu impitan tak kasat mata walau berusaha dia abaikan tekanannya. "Sial."

_LUKA_

Langit menggelap. Angin musim dingin bertiup kencang. Luka merapatkan diri pada Jejak yang sedang menggambar dua jejak luka di atas pasir pantai putih."Luka dan darah." Luka bergumam. "Apa maksudnya?"

"Menurut kamu, apa?"

"Aku luka, dan kamu darahnya?" Luka terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan. "Kamu Jejak. Nggak boleh jadi darah."

"Kenapa nggak boleh?"

"Karena darah selalu meninggalkan luka."

"Tapi luka juga selalu meninggalkan jejaknya, kan?" Jejak menyibakkan dahinya, memperlihatkan salah satu bekas luka pada gadis itu. "Dan Jejak akan tetap bersama luka selama luka itu berbekas."

"Jejak luka?"

"Bekas luka." Jejak tertawa, memperlihatkan gigi gingsulnya yang terlihat manis. Dia mendongak, menatap siluet awan yang terlukis indah di atas kanvas langit. "Hidup itu membosankan banget. Iya, kan?"

Luka mengangguk. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan dua cincin yang terbuat dari ranting. "Sesuatu yang dibuat oleh hati," Luka memasangkan salah satu cincin itu di jari manis Jejak. Dia memamerkan lesung pipinya dan ikut memakai cincin itu di jari manisnya. "Akan sampai ke hati juga."

Jejak tertegun. Dia menatap cincin di jari manisnya dengan tatapan kosong. "Kita, tunangan ya?"

1k word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang