"Dulu sifatnya baik. Tapi setelah kecelakaan itu, dia jadi jarang bicara dan dingin," seseorang membicarakan Grace.
Altezza memainkan ponsel genggam di tempat duduk Grace di barisan kedua sembari menaikkan kaki di atas meja, masih mengenakan seragam basket dan juga wristband hitam yang melingkari lengan kirinya. Sesekali melirik tajam setiap siswa yang diam-diam memperhatikannya. Garis luka yang membelah alis Altezza membuat cowok itu terlihat semakin keren dimata semua orang, termasuk lawannya.
Terdengar suara klik pintu tertutup dan semuanya langsung membeku.
Altezza memiringkan kepala, melihat Grace yang juga sedang menatapnya. Untuk sesaat -hening. Bersamaan dengan suara pintu yang terbuka lalu dibanting, ruangan kelas itu mulai dipenuhi keheningan yang sangat canggung. Tersisa Altezza dan Grace setelah semua murid memutuskan keluar. Kedua remaja itu saling mengunci tatapan.
"Kenapa nggak jadian?" tanya seorang cowok yang mengintip mereka dari balik jendela kelas yang setengah membuka.
Altezza menjilat bibir dan menyisir rambutnya dengan jari. "Cedera lagi?"
Grace mengangguk pelan tanpa suara. Dia melangkahkan kakinya pincang dan duduk di sebelah Altezza. Atensi Grace teralihkan pada roti dan susu yang tergeletak begitu saja di atas meja belajarnya. "Buat gue?"
"Bukan."
"Oh. Gue pikir-"
"Bawel." Altezza menyentil dahi Grace. Cewek itu membuka bibir ketika Altezza menyuapinya roti. "Lo lucu kalau lagi cemberut."
"Serius?"
"Nggak juga."
Ekspresi wajah Grace berubah datar seketika. Setelah diterbangkan ke atas langit, cowok itu dengan mudahnya menjatuhkannya ke dasar bumi. "Lo suka gue?"
"Mau gue jawab jujur atau gue jawab yang sebaliknya?" Altezza tersenyum miring dan menahan tangan Grace yang sedetik saja cowok itu terlambat, tangan Grace akan langsung meninggalkan bekas di wajah Altezza. Meskipun perempuan, tenaga Grace dalam hal memukul lawan tidak dapat dianggap main. Pernah sekali Grace memukul seorang siswa yang membuatnya kesal setengah mati hingga berakhir di rumah sakit.
"Woi!" Grace dan Altezza spontan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Eiger yang dengan santainya menyandarkan punggungnya di balik pintu kelas.
"Purnama, Meteor dan Zero ditabrak mobil Pak Ganteng di area parkiran sekolah. Mereka-" belum sempat Eiger menyelesaikan kata-katanya, Altezza sudah lebih dulu berlari melewatinya. "Sialan. Padahal gue cuma bercanda."
Grace yang mendengar hal itu refleks menendang kursi Altezza -kesal. Dia mengambil sisa roti yang diberikan Altezza lalu berjalan keluar kelas dan membuangnya ke tempat sampah. "Apa." Grace menatap dingin setiap siswa yang tidak sengaja melihatnya membuang makanan.
Hening sepersekian detik,
Salah seorang dari mereka berjalan menghampiri Grace dan kembali mengambil roti yang cewek itu buang. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia langsung memakan roti tersebut tanpa rasa jijik sedikitpun.
"Ini makanan. Bukan sampah." Zee mengusap sisa saos yang menempel di bibirnya kemudian melangkah melewati Grace yang terlihat marah. Dia mundur lagi beberapa langkah kemudian membisikkan sesuatu di samping telinga cewek itu. "Gue kasih tau. Membuang makanan itu, nggak keren."
_LUKA_
Untuk beberapa alasan, Zee membenarkan rumor yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang kriminal. Fana dan Abigail memprotes keputusannya. Karena anak-anak nakal disekolahnya akan membuat Zee terdengar seperti maniak berbahaya, penjahat kelas kakap, rentenir, tukang palak, preman, begal, pembunuh berantai —dsb (dan sebagainya).
"Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa." Zee kelewat santai. "Dengar lo berdua masih percaya sama gue, itu udah cukup."
Fana dan Abigail menggeleng tidak habis pikir. Kedua remaja itu merangkul pundak Zee saat berjalan melewati para anak-anak kelas sepuluh yang menatap Zee seolah dia adalah seorang pembunuh.
"Apa-" Zee tersenyum mengejek. "Mau mati?"
"Ng-gak, Kak," para adik kelasnya itu kompak berlari menjauhi Zee.
Langkah Zee terhenti ketika sekelompok cowok berseragam basket berdiri menutupi penglihatannya. Dia mendongak, bertepatan dengan Altezza dan Zero yang menunduk. Kedua cowok itu mengunci tatapannya. Netra abunya bertabrakan. Altezza dan Zero melihat dari tempat yang lebih tinggi sebab pucuk kepala Zee hanya mencapai dagunya.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir ketiga remaja itu.
"Zee, ayo pergi."
Fana dan Abigail berniat menarik Zee ke arah berlawanan, tapi Altezza dan Zero kompak menahannya dengan cara yang tidak terduga. Altezza mencengkeram pinggang Zee, sementara Zero menyentuh punggungnya dengan posisi setengah merangkul. Dan itu semua tidak luput dari perhatian para murid yang diam-diam memperhatikan Zee, Altezza dan Zero dari balik jendela kelas yang setengah membuka. Mereka semua meneriaki sesuatu tanpa mengeluarkan suara saat melihat kedekatan Zee dengan Altezza, sang kapten basket sekaligus Zero yang menjabat sebagai ketua OSIS.
"Bisa tolong lepasin gue?" tanya Zee datar, tanpa emosi.
Altezza dan Zero saling menatap tajam, kemudian tertawa. Tawa yang terdengar janggal di telinga teman-teman satu teamnya.
Filosofi menebak. Ada sesuatu yang belum selesai diantara Zee, Altezza dan Zero.
"Lo benar-benar cewek yang nggak punya malu, Zee," sindir salah satu siswi yang terkenal sebagai salah satu most wanted girl di sekolahnya. Dia mengenakan seragam ketat, sengaja mengikatnya ke atas, memperlihatkan pusarnya. "Gue nggak habis pikir. Setelah lo kedapatan mencuri kalung kesayangan Grace, sekarang lo juga berniat mencuri perhatian Altezza dan Zero yang berstatus sebagai sahabat sekaligus partnership nya di dalam team basket?"
"Iya. Kenapa?" Zee memiringkan kepala dan menyeringai lebar. "Ada masalah?"
Siswi itu kehilangan kata-kata. Zee bukanlah lawan yang bisa dengan mudah cewek itu kendalikan. Bahkan setelah rumor buruk tentangnya beredar, banyak cowok yang malah mengguminya, alih-alih membencinya.
Altezza melepaskan rangkulannya. Cowok itu menghapus keringat dinginya yang menetes ke mata. Tatapan Zee terkunci pada tinta hitam yang melingkar di salah satu leher Altezza, sudut sebuah tato. Ragu, Zee menyentuhnya. Ada senyum terukir di sudut bibir cowok bermarga Gillova itu. "Jangan salah paham. Itu bukan tato."
"Bukan?"
"Ya. Itu tanda lahir gue." Altezza tertawa serak. Dia memiliki bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang penuh. Cowok itu meraih tangan Zee dan meletakkannya di atas bibir bawahnya yang tebal. Bibir Altezza perlahan membuka di bawah tangannya, dan Zee bisa merasakan embusan napas Altezza yang sejuk di ujung jemarinya. Cowok itu menyeringai tajam. "Tunggu gue di halte." Altezza menggigit kuku Zee. "Dan jangan pulang tanpa gue."
955 word.