ONE HUNDRED TEN

10.3K 1.6K 1K
                                    

"Jejak Altezza Gillova, dia cowok yang suka menganggap semua hal lebih mudah daripada bernapas."

Ree memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, menyandarkan punggungnya di balik pepohonan tumbang —memperhatikan Altezza dan Luka dari kejauhan. Ree memiringkan kepala, melirik Cadenza yang berdiri diam sembari memainkan ponsel genggam dengan satu tangan, terlihat muak.

Cadenza tidak mengatakan apapun. Dia menoleh, menatap Ree. "Lo nggak sedang mempermainkan gue, kan?"

"Gue sedang mempermainkan lo, kok."

Cadenza mendecih.

Ree menyeringai sinis. Di sisi lain, Luka memperhatikan wajah pucat Altezza yang tertidur pulas di pangkuannya. Rambut kelabunya berkilau seperti awan mendung. Kulitnya putih dengan bulu mata hitam legam, dia- "seolah lo akan hancur tanpa jejak jika gue sentuh."

Altezza mengerang parau. Dia memiringkan kepalanya sendiri, tanpa sadar membuat bibirnya menyentuh perut Luka. Dingin. "Bertingkahlah seperti lo nggak ada. Karena lo mengganggu." Altezza mengigau. Luka mencubit pipi cowok itu, gemas. Altezza menepis tangannya, dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke perut cewek itu. "Sekarang suasana hati gue sedang buruk. Sebaiknya, jangan ganggu gue."

"Jangan tidur."

"Gue juga nggak mau bobo."

"Apa-"

"Gue bobo bukan karena gue mau." Altezza memutar mata. Dia memiringkan kepalanya ke posisi awal, menatap langit malam yang semakin menggelap di bawah bayangan Luka. Usapan lembut pada kepalanya, membuat rasa sakit cowok itu sedikit teralihkan. "Gue hanya mengantuk. Kalau tidur sebentar, pasti sembuh."

"Jangan lupa bangun."

Altezza mengulum senyum. "Oke. Nggak jadi bobo."

"Kenapa?"

"Takut lo khawatir gue nggak akan bangun lagi." Altezza meraih tangan Luka dan membawanya ke bibirnya yang pucat. Dia membaui aroma darahnya yang membekas, kemudian mengecup punggung tangan Luka, singkat. Cewek itu hanya menanggapi kata-kata Altezza dengan memutar mata. Luka mendengus sebal, tanpa alasan. "Kencan kita sangat membosankan."

"Ini bukan kencan." Altezza menyangkal. "Gue udah bilang sebelumnya, 'jangan ikut'. Dan lo jawab, 'berisik, Altez. Gue melakukan apapun yang gue mau' - dan lo mengikuti gue sampai ke arena tinju."

Luka menjilat bibirnya yang mendadak kering, kemudian mendesis saat merasakan potongan darah Altezza yang mengeras di sekitar bibir. Dia tidak berhenti berkeringat dingin. Luka menghisap potongan darah Altezza hingga mencair. Lidahnya memerah. Rasanya aneh. Tapi, "lo suka, kan?" Altezza tersenyum -melihat reaksi Luka. Hidung mancungnya seperti menahan napas. Bibir tipis kemerahan itu nampak bergetar saat mencoba untuk menelan darahnya. Altezza terkekeh. "Muntahkan-" tanpa berpikir dua kali, Luka langsung memuntahkan darahnya ke muka sang leader. Darah itu membekas di sepanjang mata hingga ke bibir. Altezza mendesis. "Sialan, Ka. Lo tetap kelihatan seksi meskipun nggak tau diri."

Ree menulikan pendengarannya. Dia menunduk, memperhatikan segerombolan mayat semut yang mati di bawah sepatunya dan Cadenza. Sorot matanya beku. Ree yang melihat hal itu, spontan mendorong pundak Cadenza menjauh. "Nyaris dalam bahaya."

"Shit." Cadenza memaki. "Apa? Apanya yang dalam bahaya?"

"Lo nyaris menginjak anak semut." Ree berlutut dengan satu kaki, melihat segerombolan anak semut yang nyaris mati terinjak Cadenza. Jika memikirkan betapa terkejutnya makhluk-makhluk kecil itu - "sialan, Ca." Ree mengangkat wajahnya sedikit, menatap sahabatnya dingin. "Lo nyaris merenggut nyawa sebanyak itu."

Cadenza kehilangan kata-kata. Ree memiliki sisi kebalikan dari Altezza yang ternyata, "lebih gila dari dugaan gue."

Altezza mengusap sisa darah di yang membekas di bibirnya dengan punggung tangan. Cowok itu menatap pantulan wajahnya dari pupil mata Luka yang menggelap. Dia menyentuh pipinya. Dingin. Untuk sesaat cowok itu merasakan keganjilan di udara. Dia menoleh dan menajamkan tatapannya saat melihat siluet Cadenza dan Ree yang bersembunyi di bawah pepohonan tumbang, seperti mengawasinya dan Luka dari kejauhan. "Apa lo pernah punya cowok selain gue?"

"Zero. Dia mantan gue."

Altezza memiringkan kepalanya dan menyeringai lebar. "Oh."

Luka memutar mata. "Tentang Cadenza, dia tunangan lo, kan?"

"Kenapa lo harus tau? Lo bukan siapa-siapa gue." Altezza tersenyum miring. Dia menirukan kata-kata Luka beberapa waktu lalu. "Gue cewek lo, Ez." Luka berkata dengan geraman. Pupil kelabunya langsung menggelap. "Jangan mengalihkan pembicaraan."

"Ya."

"Apa?"

"Cadenza tunangan gue."

Ekspresi penasaran di wajah Luka berangsur dingin. Dia mendekat, menyejajarkan posisinya untuk menatap mata cowok di depannya. Dalam matanya yang pekat seperti langit malam, ada rahasia yang tidak diketahui siapa pun. "Lo serius?"

"Nggak juga sih." Altezza kelewat santai. Cowok itu mengangkat bahu. "Kenapa? Lo cemburu?"

"Iya. Gue cemburu." Luka menjawab cepat. Sedetik kemudian, dia membekap mulut Altezza. Kedua remaja itu saling menatap tajam, kemudian tertawa. Para anggota Triggerblack yang memperhatikan kejadian itu dari kejauhan hanya mampu memutar mata. Jejak dan Luka sama-sama tidak bisa mengekspresikan perasaan suka. Cadenza dan Vall kompak mengalihkan atensinya ke arah semak-semak belukar di belakangnya. Ternyata, tidak hanya mereka yang mengawasi Altezza. Jejak darah seseorang mengarah ke pepohonan tumbang. Gerrald terduduk kelelahan sambil menekan luka. Entah kenapa, dunia terasa sunyi seolah-olah hanya ada Luka dan Jejaknya.

"Tadi tangan gue sedikit tergores akar. Agak perih." Luka mendesis. "Altez, apa lo punya plester luka?"

"Gue punya lidah." Altezza menjulurkan lidahnya yang memerah, bekas darah. Luka kembali membekap mulut Altezza. "Plester. Bukan lidah." Altezza menepis tangannya. Cowok itu tersenyum mengejek. "Lo bilang, gue seperti obat bius, kan?"

Luka menarik napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan kiri. Jemarinya yang mengalami pergeseran sendi bengkok sedikit tergores. Sayatan akar tajam terasa perih. "Sakit," bisiknya. Luka mengerang dan menarik jemarinya kembali ketika Altezza selesai mencabut duri akar yang tertancap dengan gigi. Altezza tertawa saat melihat Luka memajukan bibirnya, cemberut. "Lo cemberut karena jari lo nggak jadi gue jilat, by?"

"Nggak."

Altezza terkekeh. Dia menggeser duduknya lebih dekat ke Luka. Lengan kedua remaja itu bersentuhan tanpa pelindung. Dingin.

"Pejamkan mata lo, Ka." Luka mengangkat satu alisnya. Dia berniat menolak, tapi segera mengurungkan niat ketika melihat tatapan tajam seorang Jejak Altezza Gillova yang seakan mengancam, "pejamkan atau buta."

Altezza mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Luka, dan bibir kedua remaja itu hampir bersentuhan. Luka memejamkan mata, tapi tidak ada yang terjadi. Detik demi detik berlalu, dia memutuskan membuka matanya lagi. Altezza menatap matanya selama beberapa detik dan kemudian, cowok itu mengacak rambut Luka, membuat poni panjang cewek itu jatuh menutupi mata. Dia berambut gelap. Bermata segelap dasar samudera. Luka menahan napas ketika Altezza tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya ke keningnya yang berkeringat, tepat saat kamera handphone di tangannya mengeluarkan kilatan cahaya. Luka yang menyadari hal itu pun, spontan mendorong pundak Altezza menjauh. "Lo foto gue, kan? Hapus!"

Altezza menggeleng santai dan menyembunyikan handphonenya di dibelakang punggung. "Lo siapa nyuruh gue hapus foto ini?"

TBC.
1k word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang