NINETY THREE

5.8K 1.6K 305
                                    

"Lo mau," Luka mengangkat wajahnya sedikit, menatap netra sedalam samudera Altezza dengan tatapan sakit. Dia terbatuk. Matanya sembab. Rasa pahit menjalar naik ke kerongkongannya. Altezza mencengkeram lehernya sekuat yang dia bisa kemudian menyatukan dahi keduanya tanpa tenaga. Bibir kedua remaja itu sama-sama bergetar. Luka menyentuh pipi Altezza. Dia berbisik, "lo mau membunuh gue?"

Seperti mendapat sebuah hantaman keras, kepalanya berdengung sesaat. Altezza ditarik mundur oleh Antara dan Guruh. Cengkeramannya pada leher Luka terputus. "Luka," Altezza menelan ludah yang tercekat di tenggorokan. "Gue,"

"LO SADAR SAMA TINGKAH LO SEKARANG, HAH!?" Luka berteriak parau. Dia mengepalkan tinju. Para anggota Triggerblack tertegun. Luka tidak pernah berteriak sebelumnya. Ini pertama kalinya Luka berteriak memarahi ketuanya. "Lo keras kepala, kaku, harga diri lo tinggi, nggak tau sama sekali cara memperlakukan orang lain dengan baik, dan kata-kata lo juga kasar." Luka menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Semua sifat lo buruk. Mental lo cacat dan-"

"Ka!"

"Apa?" Luka menantang. "Gue benar, kan?"

"Ya," salah satu sudut bibir Altezza terangkat, tersenyum sinis. "Karena sejak hari itu, dunia gue lebih sunyi dibanding dunia orang lain."

_LUKA_

Altezza merasakan kematian Gracia ditangannya. Dia mendengar detak basah jantung pacarnya yang merenggang nyawa. Cowok itu menyaksikan darahnya tertumpah. Altezza melemparkan tatapan dingin pada bayangannya di cermin. Dia tersenyum lambat-lambat, dan ekspresi menghina hampir tidak kentara di wajahnya. Cowok itu menantangnya. Altezza mengepalkan tinju dan meretakkan kaca wastafel di depannya dengan satu pukulan lurus.

Altezza tersenyum miring. Dia melihat bayangan manusia lain di dalam cermin. Itu dirinya sendiri. Dia sosok Altezza yang mati dua tahun lalu. Remaja empat belas tahun itu memuntahkan darah yang dia sembunyikan di bawah lidah. Satu tangannya menggenggam pisau. Altezza mengangkat satu alisnya, menatap sosok dewasa di depannya dengan tatapan dingin. "Wajah Kakak benar-benar terlihat kelelahan."

Altezza menatap datar bayangannya sendiri di cermin. Matanya gelap dan dalam seperti laut tak berujung. Kulitnya putih, menggigil -sedingin es.

"Menahannya terus-terusan juga bukan kebiasaan yang baik."

"Lo pikir gue berpura-pura kuat?"

"Kakak sedang melakukannya sekarang." Pupil kelabunya langsung menggelap. Altezza mendesis, sesaat setelah bayangan remaja itu perlahan memudar, menyisakan aroma darah yang membuat satu tangan Altezza terkepal, mati rasa.

_LUKA_

Dia muntah-muntah saat terbangun. Altezza tidak mengatakan apapun ketika teman-temannya membersihkan muntahnya yang membekas di lantai kamar cowok itu. Melirik sekilas, Altezza kembali memainkan rubik dengan satu tangan, terlihat bosan.

Filosofi menyibak rambut Altezza yang menutupi dahi. "Lo demam."

"Gue, nggak." Altezza menepis tangan Filosofi dan menjatuhkan diri, tidur terlentang di atas lantai kamar yang dingin.

"Oh, ayolah. Lo sakit."

"Berisik." Altezza terlihat seperti bocah. Dia berguling menjauhi Meteor dan Zero yang berniat akan mengangkatnya ke atas sofa.

"Ez!"

"Be-ri-sik." Altezza menepis tangan Filosofi dan kembali berguling menjauhi teman-temannya, sesekali meringis sakit ketika kepalanya tidak sengaja terbentur kaki meja dan kaki Zero yang sengaja memblokir pergerakannya. Cowok itu memaki, kemudian mengangkat tubuh Altezza sebelum akhirnya membanting tubuh cowok bermarga Gillova itu ke atas sofa, bersebelahan dengan Lautan yang sedang menjilati obat demamnya.

Altezza menunjuk ke arah rubiknya yang di injak Meteor. "Rubik gue." Dia menginginkan rubiknya.

Meteor memutar mata, kemudian tanpa aba-aba langsung menendang rubik kesayangan Altezza keluar kamar.

"Yah, hilang." Altezza menganga. Hal itu dimanfaatkan Zero dengan langsung memasukkan dua pil obat sekaligus ke dalam mulut cowok itu. Altezza menahan napas kemudian menelan paksa dua obat di mulutnya hingga terbenam ke tenggorokan. Sempat tersangkut, sebelum akhirnya masuk ke lambung. Altezza terbatuk.

"Ini apa?" Lautan bertanya polos, sembari menunjuk obat yang di genggam Zero.

"Kenapa?" Filosofi menyela. "Lo belum puas menjilat obat demam kakak lo, hm?"

"Iya." Lautan mengangguk. Dia menunjuk satu-persatu obat Altezza yang berada di atas sofa. "Aku mau ini. Ini. Ini. Ini juga. Itu kelihatannya enak. Ehm, aku mau coba itu, semuanya. Boleh, kan?"

Purnama tersenyum jahil. Dia memberikan salah satu obat Altezza kepada anak itu. "Boleh. Kenapa nggak boleh?"

Zero menahan tangan Purnama. Dia mengintruksikan kepada dua temannya yang lain untuk membawa Lautan keluar kamar sebelum mati akibat keracunan dosis obat. Anak itu sempat memberontak dan berteriak. "Aku mau Altezza. Aku mau dia!" dan keadaan berubah hening ketika pintu kamar langsung dikunci.

"Pacarnya Altezza nelepon gue. Angkat nggak?" Antara mengangkat satu alisnya.

"Darimana dia tau nomor lo?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Altezza bernada dingin.

"Dia yang lo maksud itu, siapa?"

"Luka."

"Memangnya, Luka pacar lo?"

Altezza memutar mata dan memilih untuk memainkan game di ponsel genggamnya. Dia kehilangan fokus ketika mendengar suara Luka dari sambungan telepon cowok itu.

Antara sengaja memperbesar volume panggilannya dan memposisikan handphonenya di dekat telinga sang leader.

"Halo, Ga," suara Luka terdengar serak.

"Luka," bisik Altezza. Para anggota Triggerblack kompak menyembunyikan wajahnya di balik jaket. Mereka berusaha untuk tidak tertawa ketika melihat Altezza dan Luka sama-sama kebingungan.

"Halo. Ini benar nomornya Antara?"

"Iya. Ini gue." Antara menyahut. "By the way, ada urusan apa lo nelepon gue?"

"Altezza- ehm. Maksud, gue- Zero. Lo punya nomornya Zero, kan?"

"Ehm, itu. Gue-"

Belum sempat Antara menyelesaikan kata-katanya, Altezza sudah lebih dulu mematikan sambungan teleponnya, sepihak.

Teman-temannya selalu bisa tau kapan suasana hati cowok itu berubah. Mereka tau kapan Altezza ingin melampiaskan kemarahan. Dan sejak malam itu, Altezza tidak pernah sekalipun bertemu dengan Luka. Bukannya tidak bisa bertemu. Tapi, cowok itu selalu menghindar setiap kali diajak untuk menjenguk Luka. Lebih parahnya, Altezza menghilang di hari Luka harus menjalani operasi penyambungan tulang.

TBC.
884 word.

CACAT LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang