Luka menyeret langkah, menyusuri trotoar dengan Altezza di gendongannya. Dia membelah hujan, ditemani bayangan lampu yang perlahan memudar. Angin berhembus kencang, membuat seluruh aliran darahnya seolah dibekukan. Luka berhenti di bawah lampu lalu lintas ketika Altezza menyentuh pipinya dengan bibirnya. Dingin. Untuk sesaat, Luka memaki kebodohannya sendiri. "Maaf."
"Untuk?"
"Nggak tau." Luka menghela napas lelah. Dia kedinginan. Cewek itu memejamkan mata ketika merasakan usapan lembut pada rambutnya yang tergerai. Altezza mengusap keringat dinginnya yang menetes ke mata. "Gue nggak tau apapun tentang lo. Padahal lo cowok gue."
"Gue juga nggak tau apapun tentang lo." Altezza tertawa serak. "Yang gue tau hanya, lo cewek gue. Gue nggak tau apa yang lo suka, dan apa yang nggak lo suka. Lo dan gue nggak terlalu akrab. Nggak ada hal yang membuat kita berkomunikasi. Kita juga nggak saling peduli."
Luka tidak menyangkal. Dia memperbaiki posisi Altezza di gendongannya. Mereka bercerita banyak hal dan tertawa ketika langit tiba-tiba memunculkan kilatan cahaya, disusul suara menggelar yang membuat Luka kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Altezza dan Luka terjatuh dengan posisi terlentang di atas trotoar. Kedua remaja itu berpandangan sesaat kemudian tertawa lemah. "Karena lo, gue jadi suka hujan."
"Dan karena lo, gue benci kesepian."
Altezza terkekeh. "Selain jago berkelahi, lo juga jago ngengombalin cowok?"
Luka tidak mengatakan apapun. Dia menatap Altezza. Cowok itu tertawa, memamerkan gigi gingsulnya yang terlihat manis. Samar, dia melihat cairan asing, mirip lendir yang mengalir dari sela bibir Altezza. Luka meringis. "Lo muntah lagi?" Altezza mengangguk. Dia memutar badan, tengkurap dan membenamkan wajahnya di antara kedua lengannya yang tertekuk. Altezza terbatuk. "Gue nggak apa-apa. Hanya muntah."
"Lo sakit."
Altezza mendesis, "gue, nggak." Cowok itu terduduk kelelahan. Sesekali meringis. Kemudian memejamkan mata -menahan sakit. "Gue sehat." Luka menyentuh bekas jahitan Altezza yang memanjang antara kepala dan telinga. Usapan lembut pada kepalanya membuat rasa sakit cowok itu sedikit teralihkan.
"Berapa umur lo ketika pertama kali berkelahi?"
"Lo mengalihkan pembicaraan."
"Gue butuh jawaban."
"Sebelas tahun." Luka mengangkat bahu. "Lo?"
"Dua belas tahun."
Percakapan kedua remaja itu terhenti ketika mendengar suara teriakan dari arah berlawanan. Itu suara petugas keamanan. Luka dan Altezza mengabaikan peringatan itu. Kemudian terlihat empat orang pria berseragam yang berlari membelah hujan ke arah mereka. Altezza menarik Luka berlari ke arah tong sampah di dekat mobil bekas. "Ergh," kedua remaja itu sama-sama mengerang. Mereka malas jika harus berurusan dengan pihak keamanan.
"Keluar atau kaki kalian kami tembak?"
Luka melotot tajam. "Kita ketahuan?"
Altezza menggeleng, kemudian membekap mulut Luka ketika pihak keamanan itu mendekat ke arah tong sampah dan berhenti disebelahnya. Jarak pandang mereka pudar karena kabut dan hujan deras yang membasahi kota.
"Anda yakin tidak salah lihat? Jelas-jelas tidak ada anak SMA yang tertidur di bawah lampu lalu lintas."
"Anda benar. Mungkin, saya salah lihat."
Luka dan Altezza keluar dari persembunyiannya. Kedua remaja itu menatap punggung petugas keamanan yang perlahan menjauh. Altezza menurunkan rok Luka yang sedikit tersingkap. "Tutup aurat lo," air hujan yang mengalir di dada Luka membuat payudara cewek itu tercetak jelas. Ditambah lagi, bagian bawah seragam sekolah Luka sedikit tersingkap, memperlihatkan perut dan pusarnya yang tidak memiliki cacat. Bahkan tanpa cela.
Luka terkekeh. Dia meraih tangan Altezza dan menggenggamnya. "Gue nyaman saat dekat lo."
Altezza tidak mengatakan apapun. Sesaat, kilas balik bayangan remaja empat belas tahun menerpa ingatannya. Dia tidak bisa melangkah sedikitpun. Anak itu hanya bisa diam ditempat dengan kaki berlumur darah, karena berdiri di atas pisau yang dipenuhi tanda tanya. Sekarang, Altezza telah menjadi pisau itu. Dia terkekeh sinis, kemudian mendesis. "Nyaman itu jebakan."
Luka menipiskan bibir. "Apa impian lo?" dia berusaha mengalihkan pembicaraan.
Altezza mengunci tatapannya. Cowok itu mengatakan salah satu impiannya tanpa mengeluarkan suara. Tidur selamanya dan tidak pernah terbangun. Luka tersenyum pahit. Dia terlalu sakit untuk diobati. Altezza terlalu rusak untuk diperbaiki.
"Tapi ini masih jauh dari selesai." Altezza menggumam, setengah mengigau. "Belakangan, sebagian ingatan gue muncul. Tapi, semua ingatan itu cuma ingatan buruk."
"Tunggu. Apa maksud-" Luka menghentikan kata-katanya setelah menyadari satu hal janggal. Dia dan Altezza saling mengunci tatapan. "Ekhm, maksud gue-"
"Apa justru lebih baik ingatan gue nggak kembali? Kalau hal yang lebih buruk terjadi karena ingatan gue kembali, gue nggak mau mengembalikan ingatan gue." Desiran angin di sela-sela ranting -rapuh. Altezza mencengkeram leher Luka tanpa tenaga. Sebagian ingatannya yang muncul berhubungan dengan kecelakaan dan darah. "Kata-kata yang selalu menghantui gue, 'Kita yang berakhir sebelum di mulai."
715 word.