Meski sulit mengutarakannya lewat kata-kata, meski tau Luka hanya berpura-pura, sebagian dari diri Altezza menolak dia kehilangan Luka-nya.
Dokter Brian melepaskan kaca matanya dan mengunci tatapan Altezza. "Kamu bukan pacarnya Luka, kan?"
"Gue cowoknya."
Para anggota Triggerblack yang mendengar hal itu kompak memutar mata. Hubungan Altezza dan Luka memiliki arti seperti filosofi abu-abu.
"Luka menyuruh saya bilang ke cowoknya kalau dia udah nggak ada." Dokter Brian memberi jeda. Dia menatap Altezza, menunggu reaksi cowok itu. Bukannya marah, Altezza malah tertawa. Tawa yang terdengar janggal di telinga Dokter Brian dan teman-temannya. Pria itu menahan napas ketika Altezza menjilati darah Luka di bibirnya yang membekas dengan ekspresi dingin. Pupil kelabunya langsung menggelap. "Tolong bilang ke Luka, cowoknya marah."
_LUKA_
Luka tidak tau berapa lama dia berbaring diam, tenggelam dalam lautan kebisuan yang menjebaknya bersama Altezza. Dia tidak tau berapa lama Altezza mengawasinya seperti predator. Setelah aksi pura-pura matinya di ketahui cowok itu, dia mendapatkan tatapan kebencian dari para anggota Triggerblack dan sang leader.
Mata Altezza bagaikan mata elang yang setengah terluka.
Luka menatap Altezza lebih lama dan ada sorot mata yang membuatnya tegang. Altezza membuka kaosnya hingga setengah telanjang dan Luka segera tau dia dalam masalah. Cowok itu berdiri, wajahnya mengkerut marah. Para anggota Triggerblack yang memperhatikan kejadian itu dari kejauhan hanya duduk diam sambil memainkan ponsel genggam. Tidak berniat melerai ataupun memisahkan keduanya. Lalu terdengar suara tinjauan keras yang menghancurkan kebisuan. Altezza mengarahkan tinju ke dirinya sendiri.
Para anggota Triggerblack tidak bereaksi.
Luka melepaskan sedikit tabung oksigennya dan menahan tangan Altezza yang mencoba melukai dirinya sendiri sekali lagi. "Ber-hen-ti."
Altezza menepis tangan Luka dan duduk di kursi di samping brankar. Cowok itu membelakanginya. Punggungnya berkeringat. Altezza menahan diri mati-matian untuk tidak melukai ceweknya. Dia menyentuh darah yang tersisa di bibirnya. Tangannya kembali mengepal. Perasaannya kebas. "Luka," kata Altezza dengan suara rendah. "Seandainya suatu hari nanti gue pura-pura mati, apa yang akan terjadi?" dia memiringkan kepalanya, mengunci tatapan Luka. "Apa lo marah ketika gue memalsukan kematian dan memilih pergi?"
"Gue nggak tau," perasaan kedua remaja itu terlalu rumit dan sulit. "Aku, kamu, bukan kita," dia memberi jeda. "That's our relationship."
-x word.