Bagian 9 || Demi Pelita

49 22 5
                                    

Seperti biasa, jika suka, silakan vote ya sayang😌
Jika cinta berikan komentar setidaknya satu biji:)) banyak lebih baik.

*********

Jangan pernah jadi emas untuk orang yang suka perak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan pernah jadi emas untuk orang yang suka perak.

Now playing || Tak sanggup melupa- Zilva Magnolya

_________________________


"Udah kali, Lit! Ini berat banget sumpah." Charlie berujar sembari menenteng tiga kresek besar yang berisi berbagai makanan instan, camilan dan buah-buahan serta minuman bersoda.

Pelita melirik Charlie dengan malas. Mungkin sudah terhitung dua puluh kali congor si gendeng itu memaki dirinya karena belanja terlalu banyak. Huft, dasar kamfret!

"Masih kurang ini." Pelita mendesis pelan sembari menghitung barang belanjaannya, "kurang banyak malah!"

Charlie mencibir. "Giliran nenek Belfan yang masuk rumah sakit dibawain makanan banyak banget. Lah giliran gue tepar lo malah tanya kapan mati!" kelakarnya.

Pelita tak menghiraukan tapi gadis itu terkekeh kecil di depan sana. Ocehan Charlie itu sudah biasa didengar di telinganya, abaikan saja. Percayalah, beberapa detik lagi mulutnya akan menutup dengan rapat.

Langkah Pelita terhenti begitu mengingat sesuatu. Ia mengusap dagunya, tampak berpikir keras. "Hem, dessert box mungkin," gumamnya lantas membalikkan tubuh, menghadap Charlie dengan antusias.

"Tinggal beli dessert box doang, Char!" serunya.

Charlie tertawa menyebalkan, menjitak keningnya pelan. "Lansia itu rentan terkena penyakit, Lita. Lo mau bawa manis-manis kesana buat siapa? Enggak bakal dimakan, percaya deh sama gue."

"Buat Belfan, Charlie!" jawab Pelita membuat Charlie terdiam sesaat sebelum tersenyum penuh arti.

"Ok."

💰💰💰

Pelita meremas kuat rok seragamnya hingga terlihat lusuh. Keringatnya tampak bercucuran di dahi. Kaki jenjangnya pun tak henti-hentinya dihentak-hentak kecil juga mulutnya tak henti membaca nomor pintu yang bercat putih itu dengan ragu. Demi apapun, Pelita sangat gugup sekarang.

Sedangkan Charlie hanya memutar bola matanya malas. Hei, mereka sudah berdiri di depan ruang rawat inap yang bernomor 103 kurang lebih lima belas menitan, tetapi Pelita malah terus mencegahnya kala Charlie akan memutar kenop pintu.

Charlie menegakkan tubuhnya lantas menepuk pundak Pelita lumayan keras. "Sampai kapan kita nunggu di sini? Sampai gue bewokan, iya?"

"Ini beneran ruangan nenek Belfan bukan, sih? Gue takutnya salah orang," jawab Pelita membuat Charlie menghela nafasnya, mulai terpancing emosi.

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang