Bagian 17 || Butuh teman

22 9 0
                                    

_________________________________






Setelah memarkirkan motor vespanya di bagasi, Charlie langsung menyerobot tangan Ribi agar mau mengikutinya. Mulut cowok itu tak henti-hentinya mengomel karena tadi di jalan vespanya menginjak batu besar yang mengakibatkan mereka terjatuh mencium aspal hitam.

Yang lebih menyebalkan lagi, ternyata Ridwan yang berada di belakang malah menertawai mereka sangat kencang sampai orang-orang yang menolong mereka menatap heran. Jelas heran. Harusnya Ridwan menolong terlebih dahulu, bukannya malah terbahak dulu baru menolong. Dasar biadab!

"Brengsek! Dasar babi hutan!" Charlie masih mengeluarkan serapahnya.

Ribipun sama kesalnya dengan Charlie. Sudah malu, ditambah dengan lututnya yang lecet lumayan lebar karena tadi tergores aspal jalan. Darah segar yang belum sempat mengering pun masih bersemayam di kedua lututnya. Namun itu tidak ada apa-apanya daripada harus masuk ke dalam rumah besar di hadapannya ini. Ia sangat takut jika nantinya dirinya diinterogasi habis-habisan oleh nenek cowok itu.

Charlie melirik lutut Ribi yang sudah dipenuhi darah segar. Ia meringis prihatin. "Lo nggak sakit?" Charlie berganti menatap wajah Ribi yang menegang sembari menatap rumahnya. "Kok lo biasa-biasa aja, sih? Badan gue sampe encok nih gara-gara ketindih vespa."

Begitu Charlie hampir membuka pintu rumah, tautan tangan pada Ribi terlepas, membuatnya terpaksa ikut berhenti. "Kenapa?" Lagi-lagi Charlie hanya melihat raut tegang pada gadis itu.

"Gue nggak mau masuk." Ribi menunduk tanpa melihat wajah Charlie. Ia meremas kedua tangannya.

Charlie yang mengerti gelagat cewek itu langsung tersenyum mengejek. Tidak salah lagi. Ribi pasti sedang membayangkan wajah neneknya yang garang sembari mengomeli gadis itu. "Tenang aja. Nenek gue gak bakal marah-marah. Paling cuma dieksekusi mati doang."

Mata sipit Ribi membelalakkan sempurna. Kakinya dengan refleks menendang bokong Charlie lumayan keras. Membuat cowok itu meringis kesakitan.

"HEH! Badan gue udah encok parah nih! Bukannya dipijit malah ditendang!"

Ribi berdecak malah. "Ck! Gitu doang sakit." Ia kembali menatap pintu bercat putih di hadapannya dengan was-was. "Lo yang bener aja. Gue beneran mau dieksekusi mati, nih?"

Bukannya mendapat jawaban yang pasti, cowok itu malah menoyor kepalanya. "Muka doang kalem. Otaknya sebelas dua belas kayak si Ridwan!"

Charlie kembali menyerobot tangan Ribi, membawanya masuk secara paksa. Dia sudah tak peduli dengan rengekannya.

Ia membawa gadis itu ke kamarnya. Tak lupa ia juga menutup kamarnya terlebih dahulu. "Duduk!" titahnya.

Ribi menggeleng. Ia tambah takut sekarang. Takut cowok itu melakukan hal di luar nalar.

Tangan mungilnya menyilang di depan dada. Mengantisipasi hal negatif yang sedang berputar di dalam otaknya.

Sementara Charlie menatap Ribi jengah. "Ngapain lo kayak gitu? Lo pikir gue cowok mesum?"

Ribi menurunkan tangannya. Ia mengatur nafasnya yang sempat memburu. Wajahnya ia palingkan karena malu. Namun ekor matanya masih mengawasi setiap pergerakan Charlie.

Ternyata cowok itu sedang mengambil kotak p3k, juga mengambil kursi kecil di pojok kamar. " Lo duduk di sini. Gue obatin luka lo," pinta Charlie setelah berhasil meletakkan kursi kecil tepat di hadapannya.

Ribi menurut. Ia berangsur duduk sesuai perintah Charlie. Bukan apa, ia paling malas jika berurusan dengan darah. Rasanya sangat ngeri saja.

"Eh ini toh yang namanya Ribi?"

Keduanya menoleh kaget. Mata merekapun sama-sama melebar, takut terjadi kesalahpahaman lagi.

"Kalian lagi apa di kamar?"

Pupil mereka semakin melebar begitu menyadari bahwa ada Pelita dan Belfan yang sedang berdiri di ambang pintu bersama nenek Charlie yang tersenyum lebar.

Sial! Gue lupa kunci kamar! batin Charlie menggerutu.

💰💰💰


Di dalam ruang tamu yang bernuansa eropa, enam orang berbeda usia tengah berkumpul di depan meja makan panjang yang telah terisi banyak makanan lezat. Berbagai jenis makanan tersedia di sini. Semuanya tampak menggiurkan lidah. Ditambah dengan dessert box yang membuat air liur menetes ke mana-mana.

Ribi sangat senang bila melihat makanan lezat tersaji rapi di depan mata. Tetapi kali ini sangat berbeda. Atmosfer yang berubah panas mampu membuatnya kenyang hanya karena memandang saja. Ia terlalu kikuk berhadapan dengan semua orang yang berada di sini. Rasanya tak nyaman.

Ia menggaruk tengkuknya. Bibirnya ia gigit dengan erat, sama sekali tak peduli dengan keadaan bibirnya yang sudah memerah. Keringat dingin pun tak henti merembes hingga ke pipi.

"Kakak cantik nggak mau makan?"

Seruan itu menyadarkan lamunannya. Ribi menoleh ke samping kiri, menatap malu pada Zaskia yang malah memandangnya heran.

"Kakak nggak lapar." Jelas dia bohong perihal ini. Namun Ribi hanya bisa meneguk saliva secara paksa. "Kamu lanjutin makan aja, ya."

Ribi merasakan atmosfer di kelilingnya semakin panas tatkala ketiga remaja menatapnya bersamaan. Haish! Ingin sekali ia mengumpat dalam hati.

Ditolehnya kursi di samping kanan yang kosong tak berpenghuni. Tiba-tiba ide gila terlintas dipikirannya. Ini adalah salah satu cara agar dia mempunyai teman untuk diajak bicara. Ya, Ribi akan meminta Salsa untuk menemaninya!

Salsa

Salsa?
Lo temen gue, 'kan?
Kalo lo ngerasa lo temen gue, gue minta lo temenin gue.
Temenin gue di rumah Charlie.
Jalan Senopati 03. Kawasan komplek elit nomor 26

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang