_____________________________
Kedua remaja yang tengah bergantian mengobati luka di tangannya tak pernah lepas dari pandangan Ratih. Dengan bibir ranum gadis yang tengah meniupi luka, dan lelaki yang sedang mengolesi betadine di siku gadis itu, membuat Ratih tersenyum lebar. Mereka memang sudah tumbuh besar, namun yang terlihat di matanya adalah dua bocah cilik yang sangat menggemaskan.
"Oma selalu berdo'a sama Tuhan, supaya kalian berjodoh," celutuknya.
Keduanya kompak menoleh. Terlihat terkejut mendengarnya.
Cucu kesayangannya mendekat lantas berdecak sebal ke arahnya. "Selalu begitu!"
Ratih tersenyum. Tangannya tergerak untuk mengelus rambut hitam milik cucu kesayangannya. "Jaga Elisa dengan baik, Elfan," pintanya.
Elisa dan Elfan. Panggilan dari Ratih untuk Ribi, begitu pula dengan Belfan yang memilih untuk memanggil Ribi dengan sebutan Elisa.
Sebelum mengangguk, Belfan menyempatkan melirik Ribi terlebih dahulu. Gadis itu masih asik dengan aktivitasnya. "Iya, Oma."
Ratih mengangguk, percaya bahwa cucunya bisa menjaga gadis cantik kesayangannya dengan baik. "Oma ke belakang dulu," balasnya seraya memutar kursi roda ke kiri.
Belfan kembali duduk di samping Ribi. Disandarkannya punggung ke sofa panjang, lalu ia menghembuskan napas. "Luka lo gimana?"
Ribi mengangkat kepalanya sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya. "Enggak masalah. Cemen ini mah!"
"Sekarang gantian lo obatin gue." Belfan merapat seraya mengulurkan siku. Tampak bercak darah yang sedikit mengering. “Tante Anita sekarang tambah brutal. Ngeri.”
Ribi menoleh sekilas. “Dia emang nggak pernah waras dari dulu,” ucapnya yang kemudian mendapat sentilam di dahi dari Belfan.
"Emak lo itu lho...."
Ribi tak menghiraukan teguran sahabat kecilnya. Ia tengah fokus mengobati luka pada kedua siku cowok itu.
Omong-omong Ribi dan Belfan pertama kali bertemu saat mereka berumur kurang lebih tiga tahunan. Rumah Belfan terletak di samping rumah pamannya, Panji. Karena Ribi yang suka sekali singgah hingga tidur di rumah pamannya, jadi tak heran jika mereka sering bertemu. Ditambah lagi dengan Adriano, ayah Belfan adalah rekan kerja dari Panji.
Ribi mengambil kasa steril dalam kotak P3K lalu, membalutnya ke kedua siku Belfan dengan telaten. Tak lupa dengan tiupan kecil yang mengiringi aktivitasnya.
Sedari tadi Belfan tak pernah melepaskan pandangannya pada Ribi. Belfan baru tersadar bahwa teman kecilnya ini sangat lucu jika dilihat dari jarak sedekat ini. Lekukan wajah cantik yang terpatri di hadapannya membuat Belfan terus melengkungkan senyumnya, dan merasa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjaganya hingga saat ini.
Ribi menekan luka Belfan dengan kencang, tak peduli dengan empunya yang tengah meringis kesakitan. Siapa suruh sedari tadi memandangnya lekat sampai air liur lelaki itu nyaris terjatuh? Memangnya Ribi makanan yang tampak menggiurkan apa?
"Apaan, sih lo! Udah gila kali ah!"
Belfan berdecak sebal. "Senyum buat lo doang ini."
Ribi mendorong tubuh Belfan agar menjauh darinya. Melihat tatapan Belfan yang menyorot aneh membuat Ribi risih sendiri. "Mandi sana!"
"Salting hem?" Belfan menaik-turunkan alisnya, menggoda. Ia maju satu langkah lebih dekat, membuat Ribi memasang kuda-kuda. Barangkali nanti Belfan melakukan yang tidak-tidak, Ribi sudah stand by untuk menjotos muka sok cool itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua RiBu | Hiatus
Teen Fiction⚠️ 𝐀𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐯𝐨𝐭𝐞 + 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐩𝐚𝐫𝐭 ⚠️ [ Cover by Pinterest ] Menceritakan tentang kisah cinta keempat remaja yang begitu liku-liku. Mereka memilih untuk...