Bagian 33 || Permintaan

18 5 0
                                    


Apresiasi tulisan ini dengan memberikan vote dan komen setidaknya beberapa biji. Yang bacanya offline langsung vote aja, ya! Vote kalian bakalan masuk setelah data nyala kok! Jadi kalian gak perlu bolak-balik nyalain data!!💜💜





______________________________







“MIKIR KEK LO! Dari tadi cuman bengang-bengong mulu kerjaannya! Mana buku gue dicoret-coret! Kalau buat nulis puisi mah nggak papa, lah ini?! LO CORAT-CORET PAKAI TANDA TANGAN SAMPAI TIGA LEMBAR?!” Salsa mengerang frustasi. Buku catatan yang baru saja ia rebut dari lelaki di hadapannya kembali ia lempar kencang hingga mengenai wajahnya.

Sementara lelaki yang menjadi objek kekesalan Salsa hanya mendengus pasrah. “Ya maaf, gua gabut banget lagian.” Ery—lelaki berjambul yang memiliki gelar playboy di sekolahnya itu membalas lirih. Ingin menelungkupkan kepala di atas meja sebelum bunyi lonceng cafe membuatnya mengurungkan niat.

Seseorang masuk ke dalam cafe. Dia mengenakan kemeja putih hitam seperti zebra cross dipadukan dengan celana levis berwarna navy. Aroma amber menyeruak ke indera penciuman dan berangsur menguar di udara. Wajar saja, karena mereka duduk di meja dekat pintu jadi dari tadi mereka mendengar lonceng dan mencium bau parfum setiap pengunjung yang baru datang.

Untuk beberapa detik hanya hening yang menyelimuti meja tersebut sebelum Salsa angkat bicara untuk menyapa sang objek.

“Kak Charlie! Sini, Kak! Ribi di sini nih!” serunya kencang hingga beberapa pengunjung menatap ke arahnya.

Ribi menendang kaki Salsa kencang. Ia memberikan tatapan tajamnya sembari merapalkan sumpah serapah sesekali.

Why?” Salsa mengangkat alisnya tak mengerti. “Lagian kalau nggak gue sapa pun dia pasti lihat kita karena kita duduk di samping pintu kali, Bi.”

Ery ikut mengalihkan atensinya pada lelaki yang baru saja datang. Matanya menelisik penampilannya dari atas hingga ke bawah. Lelaki itu sangat familier, tetapi Ery lupa siapa namanya.

Sementara Charlie yang awalnya ingin memesan makanan untuk dibungkus mengurungkan niatnya begitu mendengar panggilan tersebut, apalagi ada objek yang memang akan ia temui hari ini.

Ia langsung menyambar kursi kosong di sebelah Ribi. Tersenyum lebar seraya menatap gadis yang sedang merotasikan bola matanya. “Apa kabar... teman?”

Kring

Lonceng cafe kembali berbunyi. Kali ini seorang lelaki mengenakan hoodie warna army yang muncul di balik pintu. Kepalanya tertutup oleh kupluk. Kedua tangannya berada di saku celana. Begitu tubuhnya mendarat di atas kursi yang terletak di sebelah Ery, dia melepas kupluknya.

“Hai. Lama, ya?” Danu—lelaki itu tersenyum lebar pada penghuni meja bernomor satu.

Bugh

Puk

Danu sebenarnya sudah menebak ini akan terjadi. Ery memukulnya dengan buku paket yang lumayan tebal, Salsa melemparnya menggunakan bolpoin, dan cowok yang tidak dikenalnya–namun terasa familier memberi tatapan bingung, serta Ribi yang menghela napas setelah kedatangannya.

“Lo ngitung semut di jalan dulu ya mangkanya telat?!” Ery menarik kupluknya sehingga sekarang kepalanya kembali tertutup oleh kupluk.

“Dia ngitung dosa-dosanya dulu kali.” Salsa ikut menimpali. Jika perihal mengejek orang, keduanya malah kompak seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Danu kembali melepas kupluknya. Menghela napas kala matanya tak sengaja bertemu dengan Ribi yang menatapnya datar. “Gue disuruh nganterin buket bunga dulu tadi. Sorry lah.”

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang