Apresiasi tulisan ini dengan memberikan vote dan komen setidaknya beberapa biji. Yang bacanya offline langsung vote aja, ya! Vote kalian bakalan masuk setelah data nyala kok! Jadi kalian gak perlu bolak-balik nyalain data!!💜💜
______________________________
Ribi menatap kosong pada rumah bertingkat dua di hapadannya. Kedua tangannya terus terkepal di samping tubuhnya. Rumah ini mengukir sejarah suka duka di dalamnya, namun yang tertinggal di dasar hati adalah cerita duka–yang lebih mendominasi.
Bagi Ribi, rumah ini adalah tempatnya menuai pengalaman sedih. Pengalaman di mana dia terus-menerus dituntut oleh ibunya untuk menjadi seorang yang sempurna, tempat di mana ia melihat apa yang seharusnya tak diperlihatkan oleh orang tuanya, di mana dia melihat adiknya selalu menangis terisak sembari memeluk pinggangnya erat. Di mana dia selalu melihat barang berantakan dan pecah—berserakan di mana-mana.
Perlu diketahui bahwa penyebab perubahan mental serta sikapnya selama ini adalah pengalaman kelam yang tersimpan di rumah itu. Senyum manisnya direnggut paksa oleh kenangan pahit yang dialami di sana. Sikap cuek dan egois itu diterapkan oleh ibunya hingga menjadikan karakter paten dari seorang Ribi.
Ia menggeleng, menepis ingatan tersebut. Matanya menatap satpam rumahnya yang sedang duduk sembari mendengarkan musik. “Pak Heru—”
“Sakit, kak! Jangan dorong-dorong!”
Ribi menoleh begitu mendengar gusrak-gusruk di belakang tanaman hijau yang sangat lebat dan tinggi. Ia menghela napasnya lelah. Dari suaranya saja dia sudah paham siapa pelakunya.
“Ngapain, Sal?” tanyanya begitu melihat baju Salsa timbul di balik tanaman.
Salsa menyembulkan kepalanya. Dia tersenyum canggung. Segera ia hampiri Ribi yang sedang bersedekap dada, diikuti Charlie di belakang.
“Oh ada lo juga.” Ribi menatap Charlie yang menunduk.
“Kalian ngapain ngikutin gue?”
Salsa menggaruk hidungnya, kemudian menyenggol lengan Charlie. “Kita ngapain ngikutin Ribi, Kak?” tanyanya polos.
“Ck! Mana gue tahu,” jawab Charlie lebih ngawur.
“Ngapain?" tanya Ribi sekali lagi.
Bola mata Charlie menatap sekeliling, berusaha membuat alasan yang logis, namun hasilnya nihil. Otaknya tidak bisa diajak kerja sama untuk saat ini. Ia mengusap belakang lehernya sedikit frustasi. “Gue ... gue ke sini ... hem ... gue ke sini karena naluri gue nyuruh ke sini. Itu aja, sih.”
Salsa terkekeh. “Lo punya naluri juga, Kak?” Pertanyaannya langsung mendapat delikan tajam dari Charlie.
“Pulang sana.” Ribi menatap keduanya malas seraya mengibaskan tangannya, pertanda mengusir.
Salsa merenggut sebal. “Jahat banget lo, Bi! Gue sama kak Charlie udah jauh-jauh ngutitin lo ke sini tapi hasilnya diusir juga.”
Ribi menghembuskan napasnya, ikut kesal. “Alasan kalian ikutin gue apa, sih sebenarnya? Ini masalah pribadi gue. Gue itu butuh privasi.”
Lagi, Salsa menyenggol lengan Charlie kencang hingga membuat Charlie berkata jujur tanpa sadar.
“Gue khawatir,” jawab Charlie refleks. Bukan hanya Salsa saja yang terkejut, Charlie pun ikut terkejut mendengar ucapannya. Sementara Ribi hanya memandang datar.
“Di sini banyak kucing. Mau lo gue bawa ke sini?” Ribi melirik ke arah kandang kucing yang terletak di pojok halaman depan.
Charlie mengangkat kepalanya. “Ap–apa? Kucing?” Tangannya langsung menarik lengan Salsa untuk menjauh dari gerbang rumah Ribi. “Kayaknya nenek gue tadi pesen nasi padang deh, gue lupa nggak beli. Balik yuk, Sal. Nanti gue dimarahin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua RiBu | Hiatus
Teen Fiction⚠️ 𝐀𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐯𝐨𝐭𝐞 + 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐩𝐚𝐫𝐭 ⚠️ [ Cover by Pinterest ] Menceritakan tentang kisah cinta keempat remaja yang begitu liku-liku. Mereka memilih untuk...