Apresiasi tulisan ini dengan memberikan vote dan komen setidaknya beberapa biji. Yang bacanya offline langsung vote aja, ya! Vote kalian bakalan masuk setelah data nyala kok! Jadi kalian gak perlu bolak-balik nyalain data!!💜💜_____________________________
Beni tak tahu apa yang membuat ibunya sangat marah kepadanya. Ia hanya tak pulang dari semalam dan baru pulang hari ini menjelang petang untuk bersemayam di rumah Panji—pamannya. Kepalanya selalu berdenyut nyeri lantaran ibunya selalu memarahinya tanpa sebab dan memecahkan beberapa benda di sekelilingnya. Dia tidak takut, itu sudah menjadi hal lumrah baginya.
Namun kali ini nyalinya menciut kala mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah merah. Ia melihat dengan jelas urat-urat yang ada di lengan dan leher ibunya menyembul. Dadanya naik-turun, seakan sedang menahan sesuatu yang bergejolak di dalam tubuh.
Walau ragu, Beni masih tetap memantapkan langkahnya untuk menuju pintu dan menghadap ibunya. Ia memegang ranselnya erat-erat. “Bang Richard ....”
Tak mau membiarkan anak bungsunya masuk rumah begitu saja, Anita langsung merebut ransel si bungsu dan melemparnya kencang, lalu menginjaknya tanpa dosa hingga terdengar bunyi remukan kaca dari dalam ransel bocah laki-laki itu.
Kemudian ia mengambil benda pipih yang sengaja diinjaknya tadi, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Buat apa mama belikan kamu ponsel sementara benda ini tidak kamu gunakan dengan baik?!”
“KAMU DARIMANA SAJA BENI?!” Anita menyugar rambutnya frustasi. “Sekolah kamu ada les? JAM SEKOLAHMU BERAPA LAMA, HAH?!”
Beni memberanikan diri untuk mengangkat kepala, menatap sang ibu yang tengah menatapnya tajam. Kilatan amarah dari sang ibu semakin membuatnya gentar. “Ben–Beni nginep di rumah paman, Ma. Beni takut lihat mama yang selalu pecahin kaca akhir-akhir ini. Beni ... beni juga diledekin temen-temen, Ma. Katanya mama Beni gila, suka marah-marah.”
Jantung Anita mencelos mendengar penuturan tersebut. Urat-urat yang timbul di leher serta tangannya mulai lemas, berganti dengan tubuhnya yang mendadak lemas hingga merosot ke bawah. “Mama ... mama ... mama emang gila, Beni....,” lirihnya.
“Iya. Kamu memang gila Anita.”
Beni dan Anita sontak menoleh cepat. Di sana mereka mendapati laki-laki paruh baya yang mengenakan pakaian santai sedang menatap ke arah mereka.
“Kamu gila karena uang Anita.” Randy berjalan santai ke arah Anita yang masih tertunduk di atas tanah.
“Kukira setelah pisah denganku kamu menjadi wanita yang lebih baik. Ternyata enggak, kamu lebih parah dengan apa yang aku bayangkan, Anita.” Randy melirik anak bungsunya tengah tengah memilin jari. “Tenang aja, Nak. Nanti Papa belikan ponsel baru buat Beni, ya?”
“Nggak usah ikut campur!” Anita bangkit, menepuk kasar debu yang menempel di roknya. Emosi yang tadinya akan reda, kian mencuat kembali karena kedatangan orang yang paling ia benci. “Ini bukan lagi urusan kamu, Mas!”
Randy berdecih meremehkan. “Walaupun hak asuh anak ada pada kamu, bukan berarti ini bukan urusanku lagi dong? Kamu ini selalu egois. Mementingkan diri sendiri. Memangnya jadi wanita yang over perfeksionis nggak capek, Anita? Kamu masih merasa kurang dengan harta yang sedang kamu miliki sekarang?”
“DIAM KAMU!” Anita mendorong kencang tubuh Randy hingga tubuh lelaki itu sedikit limbung. Randy yang tiba-tiba mendapatkan perlakuan seperti itu tersentak kaget, untung saja dia berhasil menyeimbangi tubuhnya agar tidak terjatuh.
Beni menggigit kukunya kencang. Orang tuanya seperti akan bertengkar hebat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ini mungkin akan menjadi pertengkaran kedua kalinya yang ia lihat selama ini. Dalam hati, ia berharap Richard segera datang dan melerai pertikaian ini, karena hanya dia yang bisa menenangkan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua RiBu | Hiatus
Teen Fiction⚠️ 𝐀𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐯𝐨𝐭𝐞 + 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐩𝐚𝐫𝐭 ⚠️ [ Cover by Pinterest ] Menceritakan tentang kisah cinta keempat remaja yang begitu liku-liku. Mereka memilih untuk...