Bagian 38 || About why and not

4 5 2
                                    



_______________________________









Belfan menatap ransel hitam polos milik Ribi yang tergeletak di sofa. Warna ransel tersebut sangat menggambarkan karakter gadis itu. Memiliki makna perasaan yang dalam, kesedihan, kehampaan, kemarahan dan penuh misteri. Seperti bola matanya yang hitam pekat, aura yang terpancar tatkala marah, kepribadiannya yang tak mudah ditebak.

Namun, warna hitam tak selamanya membawa pada situasi yang buruk. Hitam juga memiliki makna kekuatan. Seperti halnya dengan Ribi yang selalu kuat dalam menghadapi masalah kehidupan yang pelik.

Jika terjatuh, gadis itu akan segera bangkit sendiri tanpa mau menerima uluran tangannya. Siklus hidup itu sudah dilakoni sepanjang masa. Hal itu menjadi alasan mengapa Ribi masih bisa berdiri dengan kokoh, walau pondasi yang menjadi tumpuannya sudah sedikit keropos.

Belfan mengangkat kepala setelah beberapa detik menunduk. Langkah lebarnya membawanya untuk menuju ke sofa guna mengambil ransel tersebut. Beberapa jam sebelum hujan turun, Gerry menyambangi rumahnya. Mengetuk pintu seperti orang kesetanan dan berteriak kencang.

“Lelet amat bukain pintu? Gue keburu disleding sama pacar gue nanti. Nih, ransel Ribi gue titip ke lo aja dah. Tadi si ... si ... duh, nama temen lo yang vokalis band itu siapa, sih? Lupa gue.”

“Charlie?”

“Nah, iya itu Charlie! Dia tadi jemput Ribi ... terus dia ngajak Ribi pergi. Jangan tanya dia mau ajak Ribi kemana karena gue jelas kagak tahu. Udah ya? Pacar gue udah ngambek noh.”

Jangan tanya mengapa Gerry bisa kenal dengannya dan tahu rumahnya. Gerry adalah temen karate Ribi, otomatis lelaki itu juga kenal dengannya karena ia selalu mengantar dan menjemput Ribi di gedung karate. Kedatangan laki-laki itu yang tiba-tiba membawa ransel Ribi dan memberitahu tentang keberadaan gadis itu tentu membuatnya kesal bukan main.

Ternyata Charlie tidak mengindahkan kode darinya yang menyuruhnya untuk menjauh dari Ribi, lelaki itu malah semakin gencar mendekati sahabatnya. Ah ralat! Bukan mendekati, lebih tepatnya memanfaatkan Ribi untuk rencananya. Dipikir dia tidak tahu?

Belfan berkedip sekali. Matanya kembali menatap ransel sahabatnya yang kini telah di jinjing, juga menatap ke arah jendela, dimana hujan deras masih membasahi jalanan.

Sudah lima belas menit hujan melanda dan itu membuat Belfan bingung akan mengantarkan ransel ke indekos Ribi atau tidak?

Di dalam otaknya terdapat banyak pertanyaan yang lebih didominasi oleh pertanyaan, “kira-kira mereka lagi ngapain?”

Ia melengos sebal. Tidak ada waktu lagi, sebaiknya dia harus mengembalikan ransel Ribi sekarang karena esok hari pasti gadis itu membutuhkannya. Segera ia melangkah ke belakang untuk mengambil kunci mobil.

■■■■■■ ○○○》《°》《○○○ ■■■■■■

Masih dalam keadaan Ribi yang bersembunyi di balik tudung jas hujan dan si gendeng Charlie yang memakai plastik putih di atas kepala.

Sebentar lagi mereka akan mencapai indekos, menciptakan kelegaan di hati Ribi lantaran malu di sepanjang jalan banyak orang yang menatapnya geli. Mungkin orang lain yang melihat mereka berkata seperti ini, “kok ceweknya mau-mau aja, ya dibonceng orang setengah gila?”

Dan Ribi akhirnya bisa bernapas lega setelah Vespa Piaggio milik Charlie telah terparkir di halaman indekosnya.

“Berasa jadi selebram gue ditatap orang-orang sampe segitunya tadi,” decaknya kagum setelah melepas kresek di atas kepala.

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang