Bagian 3 || Sedalam palung mariana

56 30 57
                                    



Jangan membuang waktumu untuk mengejar seseorang yang kau sebut berlian. Buka matamu. Dan lihat ke belakang, berapa banyak seorang yang berharap bisa memilikimu. Karena yang terlihat menarik, belum tentu baik.




_______________________________







Ribi membuka pintu rumahnya pelan. Oh ralat! Ini bukan rumahnya, melainkan indekos. Ia sudah tinggal di sini sekitar dua minggu lamanya. Tentunya sendiri, tanpa kericuhan dari orang tua. Dia terlalu malas jika harus mendengarkan rentetan aturan ibunya yang terus-menerus mendesaknya untuk menjadi apa yang beliau inginkan.

Namun, pergerakannya terhenti ketika melihat siluet wanita paruh baya yang berdiri tak jauh dari tempatnya berpijak.

Gadis mungil berbandana biru tua itu mengangkat kepalanya lalu tersenyum lebar, terpaksa. Ia tak mau dikatai anak durhaka lah, anak tak tahu sopan santun lah dan lain-lain yang pastinya membuat telinganya pengang.

Tangannya yang hendak meraih tangan sang ibu, malah ditepis. Oh, astaga! Ia hanya ingin menjalankan tugasnya sebagai anak baik-baik!

"Mama minta, kamu pulang!" Anita bersedekap, memandang putrinya tajam.

Ribi hanya diam, tak berniat membalas perintah ibunya, ia malah masuk ke dalam kamarnya, hendak meletakkan ransel di atas kasur.

"Kamu mulai berani, ya sama mama?!"

Ribi menghentikan langkahnya. Ia mengambil nafasnya dalam dan menghembuskannya dengan kasar. "Ribi capek, Ma. Mau tidur dulu," balasnya tanpa menoleh sedikit pun. Kontan tingkah lakunya membuat Anita kian geram.

"Kamu pikir mama bisa ditipu sama bocah SMA? Mama tidak sebodoh itu, Ribi!"

Lagi, Ribi sama sekali tak peduli dengan perkataan ibunya juga tak peduli seberapa marah ibunya nanti. Hari ini dirinya sudah sangat lelah, tak ingin membebankan pikiran dengan meladeni ibunya.

PRANG

Gadis bermata sipit itu mengepalkan tangan erat. Selalu saja seperti ini. Ibunya itu seringkali membanting sesuatu kala sedang marah, Sehingga dirinya sudah biasa dengan kebiasaan tersebut. Segera Ribi memberesi pecahan gelas kopi yang lupa ia taruh ke dapur—yang telah berserakan di lantai, lalu membuangnya ke tempat sampah tanpa memperdulikan ibunya yang kini tengah mengacak-acak rambut.

Lima menit kemudian, Ribi kembali ke ruang tamu, memastikan bila ibunya tak merusak fasilitas yang tersedia di kostan ini.

Namun yang didapati Ribi malah lebih parah daripada tadi. Lihatlah! Sekarang ibunya malah membenturkan kepalanya sendiri di dinding. Oh ayolah, ini tidak lucu!

"Ma! Apa-apaan, sih? Mama pikir ini lucu?!" Bohong bila Ribi tak khawatir melihat ibunya bertingkah seperti itu. Apalagi kala ibunya menambah kecepatan untuk membenturkan kepalanya di dinding, Ribi semakin kalang kabut.

Ribi berusaha menghentikan tingkah aneh dari ibunya. Ia memegang erat lengan Anita, hendak membawa ibunya keluar, namun Anita malah menghempaskan tubuhnya hingga Ribi terpentok laci.

Ribi berdecak. Sudah ikut bela diri pun kekuatan ibunya masih jauh lebih besar darinya. Kekesalan itu berubah jadi ketakutan ketika melihat ibunya tengah berusaha menggapai vas bunga. Pupilnya kian melebar sesudah menyadari bahwa vas bunga yang diambil Anita sedang diarahkan kepadanya.

Mata sipitnya terpejami kuat, pasrah saja bila memang ia akan mati konyol bersama pecahan vas bunga itu. Lagipula, setelah itu dia akan bebas dari semua beban yang memperkeruh hidupnya.

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang