Bagian 42 || Family problem

5 4 0
                                    



____________________________


“Yang pegel dimana lagi kak?” Beni memundurkan tubuhnya setelah memijat bahu sang kakak.

Ribi mematikan ponselnya. Diayunkannya kedua bahu guna mendeteksi bagian tubuh mana yang terasa pegal. “Di tengkuk masih sakit.”

Beni mengangguk, hendak memijat kembali sebelum tangan Ribi mencegahnya. “Kamu enggak capek? Tangan kamu, 'kan masih kecil. Nanti malah tangan kamu ikutan pegel lagi.”

“Enggak.” Beni menggeleng cepat. “Aku kan laki-laki, kak! Aku kuat! Lihat aja otot tanganku,” ucapnya sembari menunjukkan tangan mungilnya.

Jawaban itu membuat Ribi terkekeh geli. Ia membuka resleting ransel dan mengeluarkan uang berwarna merah dari sana. “Minta tolong ke pak Heru. Kak Ribi pengin beli ketoprak yang mangkal di depan kos kakak. Empat bungkus.”

Beni hanya mengangguk saja. Bocah laki-laki itu segera melangkah pergi untuk melaksanakan perintah.

Ini akibat terlalu sering bermain dengan Charlie, dia jadi ketularan suka ketoprak. Tadinya dia selalu mengatakan bahwa ketoprak itu sedikit menjijikkan karena ada lumuran sambal kacang di atasnya. Ribi tidak suka sayur, apalagi kacang-kacangan. Gara-gara Charlie selalu menjejalkan makanan itu ke dalam mulutnya, ia jadi ketagihan. Ternyata ketoprak tak begitu buruk, pikiranya.

Omong-omong, Charlie tadi menghampirinya di UKS. Ia melihat cowok itu berlari mengejarnya dari bangku kantin sebelah pojok. Dia memandang Ribi lama dan tiba-tiba mengeluarkan uang dua ratus ribu sambil berkata, “Anggap aja uang itu sebagai tlaktiran lo di hari pertama. Gue nggak bisa tlaktir lo jajan dulu. Dan maaf ... maaf gue udah ninggalin lo semalam, gue bener-bener minta maaf.”

Ribi tersenyum tipis, tetapi raut wajahnya langsung berganti datar begitu menyadari sesuatu. “Bodoh! Kenapa lo senyum?” kesalnya pada diri sendiri.

Decitan pintu yang dibuka oleh lelaki setengah baya yang mengenakan kaus abu-abu dengan apron kuning kebanggaannya—membuat Ribi menoleh. Itu adalah ayahnya. Dia menjinjing kresek merah dengan ukuran besar. Tak lupa senyum manis dia berikan untuk anak gadisnya, namun setelah melihat kakinya yang memar rautnya berubah jadi cemas.

“Kaki kamu kenapa? Kening kamu juga kenapa diplester?”

“Kepleset di tangga. Kaki aku jadi terkilir,” jawab Ribi seraya menatap kakinya yang memar.

“Itu sih harusnya diurut, biar cepat enakan. Biar enggak mengganggu aktivitas kamu,” usul Randy. “Oh ya ... ini papa bawa pizza. Jangan lupa dibagi, ya? Asisten pribadi ibumu juga dikasih tuh, kasian.”

Mata Ribi memicing. “Maksud papa ... Richard?” Pertanyaannya hanya dibalas dengan anggukan.

Randy tersenyum lebar. Tangannya mengelus lembut pucuk kepala anak gadisnya, juga mengelus pipinya. “Ingat pesan papa, Ribi. Jangan pernah benci ibumu, apapun keadaannya dia tetaplah ibumu. Dia sudah rela bertaruh nyawa untuk melahirkan kamu. Kalau ibumu melakukan kesalahan, diingatkan dengan perkataan yang lembut. Ibumu sebenarnya baik, kamu tinggal menyesuaikan karakternya.”

Ribi hanya diam. Ternyata ayahnya tahu bila dia memendam rasa benci terhadap ibunya, walau secuil. Ayah selalu berpesan seperti itu, bahkan sebelum dia beranjak dewasa—pada saat menduduki sekolah dasar pun ayahnya telah berpesan demikian.

Ternyata pesan di masa lalu—yang selalu ia abaikan, kini bersangkutan dengan apa yang sedang terjadi. Ribi merasa bahwa kehidupan orang tuanya seperti teka-teki.

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang