_________________________________
Ternyata memiliki teman di sekolah tak seburuk yang Ribi kira. Mungkin kemarin Ribi memiliki prinsip hidup mandiri dan menyatakan pernyataan bahwa ia tak membutuhkan bantuan orang lain selagi organ tubuhnya masih lengkap. Namun kali ini Ribi mengingkari prinsipnya sendiri.
Kini ia mempercayai tentang istilah 'manusia tak bisa berdiri sendiri'. Ribi tak menyangkal bahwa ia hanyalah makhluk sosial yang tak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.
Layaknya jembatan besar yang bisa runtuh karena termakan usia. Manusia pun akan jatuh bila terus memaksa berdiri sendiri di atas luka lara yang menumpuk di dada.
Kita membutuhkan bahu untuk bersandar. Butuh sepasang telinga guna mendengar keluh kesah. Butuh pelukan hangat untuk menenangkan hati, juga butuh motivasi untuk menguatkan diri. Walaupun, motivasi takkan berarti bila tidak ada kesadaran dari diri sendiri. Setidaknya kata motivasi dapat disimpan dan diingat tatkala duka menghampiri.
Ribi bernapas lega setelah Salsa membalas pesan yang dikirim lima menit sebelumnya. Untung saja ia sempat menyimpan nomor gadis itu walau ada rasa segan di benaknya.
Pandangannya beralih ke arah tiga remaja yang tengah menyiapkan alat untuk memanggang steak yang diberikan oleh Hima--nenek Charlie selepas pasar tadi. Sebenarnya Ribi sudah berniat untuk pulang terlebih dahulu, namun lagi-lagi kepulangannya dicegah oleh bocah ingusan yang bernama Zaskia. Katanya pengin main Barbie dengannya.
"Kenapa diem di situ? Bantuin ngeracik bumbu noh sama si Belfan. Gue sama Pelita nyiapin alat panggangnya dulu." Charlie memerintah. Ribi mendengkus mendengarnya. Mengapa dia harus mendapatkan bagian membantu Belfan?
"Gue ... sama lo aja, ya, Char." Ribi menunduk. Lagi-lagi ketiga remaja itu memandangnya lama, semakin membuatnya gelisah. Terlebih saat melihat tatapan Belfan yang terkesan mengintimidasi. Ribi jadi semakin kalang kabut. Baru kali ini jiwa keberanian hilang.
"Hm oke." Charlie berdiri, lantas menatap Ribi sekilas. "Yuk ke belakang. Lo yang nyuci alat panggangnya. Gue nyiapin piring dan nasinya."
Tin tin tin ....
Pintu mobil BMW X6 warna silver terbuka lebar setelah didorong kencang oleh gadis berambut panjang. Gadis itu berlari menghampiri Ribi. Raut wajahnya terlihat khawatir, juga gelagatnya terlihat gelisah.
"RIBI!!"
"Gwaenchana?!"
Salsa meraba tubuh Ribi dari atas hingga ke bawah. Kemudian dia menangkup pipi dan mencubitnya pelan, membuat Ribi berdecak malas. Buru-buru ia menepis tangan Salsa.
"Lo nggak diapa-apain, 'kan?" Salsa mengalihkan pandangannya pada Charlie. "Lo nggak apa-apain dia, 'kan kak?"
"Apaan sih lo lebay banget," sungut Ribi tampak kesal. Ia jadi malu sendiri karena mengajak gadis itu kemari.
"Hah? Lebay?" Salsa tampak tak terima. "Lo nggak bisa bedain khawatir sama lebay, yah?"
"Iya-iya bawel." Ribi memilih untuk mengalah, daripada nanti congor gadis manja itu bertambah nerocos.
"Yuk, Bi." Charlie yang hendak menarik tangan Ribi terhenti ketika tangan lain menyentak kasar.
"Yuk yuk apa? maksud lo gimana, ya, Kak? Jangan ngajakin dia yang enggak-enggak deh." Pernyataan Salsa membuat Ribi semakin malu dan merasa bersalah. Mulut gadis itu sepertinya tak akan berhenti mengoceh jika tidak disumpel oleh sesuatu.
"Kalo lo terus ngoceh, gue suruh si botak seret lo balik." Ribi mengancam dengan sungguh-sungguh. Salsa diam, tak melanjutkan ocehannya, berganti dengan bibir yang mengerucut ke depan.
"Siapa, sih dia?" Kini Charlie yang bertanya. Ia melirik Salsa tak suka. "Mending lo bantuin Pelita sama Belfan tuh," pintanya sembari menunjuk Pelita dan Belfan yang tampak tak peduli dengan situasi saat ini.
Salsa menghentakkan kakinya. Ia menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Nanti riasan kuku gue berantakan lah! Kakak nggak lihat kuku gue yang baru dicat, masih basah."
Charlie berdecak malas. Perempuan sejenis Salsa yang selama ini ia hindari malah muncul ke permukaan. Membuatnya merasa malas meladeni.
"Yee nggak guna banget lu di sini. Mending pulang tuh sama paparazi. Yuk, Bi ah! Cepet!" Cowok itu menarik lengan Ribi menuju ke dalam tanpa menghiraukan teriakan Salsa lagi.
💰💰💰
Ribi memalingkan wajahnya ketika melihat Salsa yang tengah melahap rakus steak yang masih di atas panggangan. Ia meringis malu. Batinnya tak henti-henti memendam serapah untuknya.
Pelita, Charlie, Belfan dan juga Zaskia pun sedari tadi tak memalingkan pandangannya pada Salsa. Mungkin karena terkejut dengan tingkahnya. Setahu Ribi, Salsa adalah golongan orang yang berada. Tentunya gadis itu memiliki harta yang melimpah, walaupun itu adalah harta keluarganya, tetapi setidaknya gadis itu mempunyai hak atas harta keluarganya, bukan?
Namun setelah melihat gadis itu makan seperti setan, Ribi jadi ragu kalau itu hanya bualan semata.
"Lo makan yang pelan dong. Jijik gue liatnya." Ribi menjauhkan piringnya.
Zaskia mengangguk lugu, membenarkan ucapan Ribi secara tidak langsung. Ia masih menatap Salsa tanpa berkedip. "Kata abang kalo lihat orang yang makannya kayak orang kesurupan, berarti lagi ketemu pengemis. Kak Salsa pengemis, ya?"
Uhuk uhuk
Uhuk uhuk
Salsa dan Charlie terbatuk bersamaan. Ribi dan Pelita melongo mendengarnya. Sementara Velfan hanya menatap sekilas.
Wajah Salsa tampak memerah. Matanya menatap tajam pada Zaskia yang hanya menatapnya bingung. "Enak aja gue dikatain pengemis! Mana ada pengemis secantik gue?!" Salsa beralih menatap Charlie sebal. "Adik lo kurang ajar banget tuh, Kak!"
Charlie mengangguk. Ia menyentil kening adiknya pelan. "Bagus!" ucapnya bangga sembari melempar jempol dua pada adiknya.
"Ihhh kok nyebelin, sih?" Salsa menendang kursi asal, tepatnya kursi yang diduduki Ribi. Membuat gadis itu mendengus. Lihatlah! Dia diam pun masih mendapat dampaknya.
Saat Ribi nyaris membuka mulutnya untuk mengomeli Salsa, tiba-tiba saja Hima datang. Menginterupsi semua orang.
Ribi menunduk. Ketakutannya semakin membuncah, hingga dirinya merasakan keringat dingin yang jatuh membasahi pipi. Menambah aktivitas ternyata masih membuat Ribi gelisah.
"Ribi?"
Mata sipit itu terangkat naik, menatap perempuan yang berumur 70-an dengan kikuk. Ribi hanya bisa meneguk salivanya kasar.
Hima tersenyum ramah. Sepertinya dia tahu atas ketakutan Ribi saat ini. Rasanya geli sendiri melihat ekspresi gadis itu. Sekilas, ia mengalihkan atensinya pada cucu sulungnya yang masih memakan buah di piring.
"Yuk sekarang Ribi dan Charlie ikut nenek ke belakang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua RiBu | Hiatus
Teen Fiction⚠️ 𝐀𝐩𝐫𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐢 𝐤𝐚𝐫𝐲𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐯𝐨𝐭𝐞 + 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐩𝐚𝐫𝐭 ⚠️ [ Cover by Pinterest ] Menceritakan tentang kisah cinta keempat remaja yang begitu liku-liku. Mereka memilih untuk...