Bagian 26 || Rumit

6 9 2
                                    





____________________________

Sudah dua jam terhitung Ribi menguling-gulingkan tubuhnya tak jelas di atas kasur. Mata sipitnya ia paksa untuk terpejam hingga terasa perih. Kakinya dipukul-pukul ke kasur, membuat sprei, bed cover serta beberapa bantal acak-acakan sampai terjatuh ke lantai.

Ribi membuka mata sipitnya lebar lalu menggeram marah. Digigitnya guling yang sedari tadi ia rangkul. “Please biasa aja Ribi, biasa aja!”

Ini gila. Kejadian waktu Charlie memeluknya terus terputar di pikirannya. Otaknya seakan memaksa untuk memutar kejadian yang memuakkan itu. Jantungnya pun ikut berdetak kencang selama mengingatnya. Padahal ini hanya pelukan singkat, tapi mengapa efek yang didapatkan sangat mendramatisir sekali sih?! Ribi jadi geram sendiri.

“Gue udah sering pelukan sama Belfan. Itupun lama. Tapi kok cuma gara-gara pelukan singkat itu gue jadi gak bisa tidur sih?!” Monolognya sembari memukul-mukul gulingnya. “Kayaknya lo udah ketularan gila karena main sama Charlie mulu deh, Bi.” Ribi terdiam. Ia kembali bermonolog seperti orang gila.

Detik selanjutnya Ribi mengacak-acak rambutnya kencang hingga beberapa helai rambut tercabut dari akarnya.

Tok tok tok ....

Ribi bangkit dari tidurnya. Ia langsung berlari ke arah ruang tamu untuk membukakan pintu. Namun sebelum itu ia merapikan penampilannya yang sudah seperti orang kesurupan ini, juga menetralkan jantung yang masih berdebar. Tangannya menyikap gorden biru, ingin mengintip siapa yang bertamu. Begitu melihat Belfan yang sedang berdiri di sana ia menghela napas lega. Segera ia buka pintu untuknya masuk.

“El—”

“Masuk dulu.”

“Tapi El gue ....” Perkataan Belfan kembali dipotong Ribi cepat.

“Minum apa?” Ribi yang hendak melenggang ke arah dapur terhenti kala Belfan berucap kembali.

“Gue mau ngomong sama lo sebentar, El. Gak usah ngehindar bisa?” Belfan menatap punggung mungil milik sahabatnya dengan was-was. Ia merutuki mulutnya yang mencaci sahabatnya tanpa sadar.

Sebenarnya Ribi bodo amat dengan cibiran orang lain mengenai dirinya, namun gadis itu sangat sensitif jika yang mengolok-olok adalah orang yang sudah dia anggap sebagai teman dekat. Contohnya Belfan. Sudah tahu kalau Ribi kalau marah lama, eh malah dibuat jengkel. Konsekuensi yang ia dapatkan ya dijauhi oleh gadis bermata sipit itu.

“Sebenernya semingguan lebih Oma selalu tanyain keberadaan lo di mana dan kenapa lo gak pernah main ke rumah kami. Oma pernah nekat mau kunjungin lo ke sini modal Go car sendirian. Untung aja pak Bimo lihat Oma, kalau enggak pasti Oma masih kekeh ke rumah lo," lanjutnya. Jika kalian kira ini pertama kalinya Belfan berucap panjang seperti ini, itu salah.

Mungkin orang lain bisa menyematkan panggilan Belfan dengan si bongkahan es berjalan, berbeda saat dia di depan Ribi, Belfan menjadi sosok lelaki yang rewel dan royal.

Lama terdiam, akhirnya Ribi membuka suaranya. “Terus sekarang gimana keadaan Oma?”

Belfan tersenyum dalam diam. Dari raut wajah dan mata Ribi, sudah terlihat jelas bahwa sahabatnya itu sangat mengkhawatirkan Omanya. Syukurlah, dia masih peduli dengan Omanya.

“Kalau lo mau tahu, ikut gue ke rumah.”

💰💰💰



“Oma!!” Ribi berlari kencang dari arah pintu masuk menuju ke ruang tengah. Ia memeluk erat wanita yang sedang duduk di atas kursi roda.

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang