Bagian 31 || Satu kali lagi

7 8 0
                                    






Apresiasi tulisan ini dengan memberikan vote dan komen setidaknya beberapa biji. Yang bacanya offline langsung vote aja, ya! Vote kalian bakalan masuk setelah data nyala kok! Jadi kalian gak perlu bolak-balik nyalain data!!💜💜




______________________________









Richard menoleh ke belakang setelah menyadari suara langkah kaki milik gadis bersurai sebahu hilang bak ditelan angin, alias berhenti mengikutinya. Helaan napas terlontar begitu saja setelah melihat sang objek malah terdiam sembari bersedekap.

“Kenapa kamu diam saja? Ayo ikut saya, Ribi.”

Ribi tak menjawab. Ia hanya diam seraya memperhatikan gerak-gerik Richard.

“Kamu belum makan, ’kan? Saya ajak kamu untuk singgah ke resto. Mau?” Richard menggeleng, “tidak udah dijawab. Saya akan paksa kamu walaupun kamu menolak.” Ia menarik tangan Ribi, memaksanya untuk duduk di samping kursi kemudi dan mengabaikan sentakan yang diberikan oleh gadis itu.

Hening menyapa kala mobil sport milik Richard mulai melaju—membelah jalanan yang tampak lengang.

Kepalanya ia miringkan ke samping, tepatnya menatap cukup lama pada gadis bermata sipit dengan bandana merah maroon di kepala.

“Nggak usah lihat-lihat. Saya bukan pameran.” Ribi menoleh sekilas, lalu mengeluarkan ponselnya dan dompet kecil dari sana.

Tidak ada. Dia nyaris lupa jika langsung melenggang pergi begitu saja tadi pagi sebelum ibunya memberi uang saku padanya. Sebenarnya ada uang simpanannya, namun uang itu akan digunakan untuk membayar kosan.

Seakan peka terhadap gerak-gerik gadis di sampingnya, Richard terkekeh kecil. “Saya yang ajak kamu ke resto, jadi saya juga yang akan bayar. Tenang saja.”

Hening lagi-lagi menyapa keduanya, sebelum akhirnya Richard memilih untuk menyalakan radio. “Mau lagu apa?” Ia memilih untuk bertanya terlebih dahulu.

“Bisa nggak sih, gak usah banyak tanya?!” Ribi menatap jengkel pada Richard yang langsung terdiam.

“Galak sekali kamu. Sudah seperti ibu saya.” Lelaki berponi belah pinggir itu tak jadi menyalakan radio. Saat ini, yang dia butuhkan hanya stok sabar untuk menghadapi remaja di sampingnya. “Jangan galak-galak nanti nggak ada yang mau sama kamu. Sayang sekali, cantik-cantik tapi seperti harimau.” Ia terkekeh geli di akhir kalimat.

“Setiap lihat kamu ... saya suka keinget sama seseorang. Seseorang yang paling berperan penting dalam hidup saya. Karakternya persis seperti kamu.” Richard memutar stir mobil ke arah kanan, lantas menoleh pada Ribi lagi. Sama seperti tadi, gadis itu tak merespon. Dia hanya menatap fokus pada jalanan.

“Benar-benar persis. First impression kita pun sama. Kenapa, ya? Ah, saya kok jadi ri....”

“...ndu. Hm, iya, saya rindu,” lirihnya setelah menyadari bahwa gadis jutek itu rupanya telah terlelap.

Richard terkekeh samar. “Jadi dari tadi saya cuma bicara sendiri, ya? Kamu menyebalkan sekali," ucapnya pura-pura merajuk.

Dia tak sebodoh itu untuk dikelabui bocah SMA seperti Ribi. Dia memiliki kepekaan terhadap sekelilingnya. Mana mungkin dia tidak tahu jika remaja itu tengah membodohinya dengan pura-pura tidur? Dari deru napasnya saja sudah kelihatan—tidak teratur. Namun, ia memilih untuk mengikuti permainan gadis itu, yaitu pura-pura percaya.

“Lucu,” batinnya.

Sementara Ribi yang awalnya pura-pura memejamkan mata, akhirnya memutuskan untuk menyudahi sandiwaranya. Kelopak matanya mulai dibuka perlahan, mengantisipasi gerak-gerik lelaki menyebalkan di sampingnya. Begitu melihat Richard sedang fokus menyetir, Ribi langsung berpura-pura mengucek mata.

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang