Bagian 32 || Ingin mengakhiri

5 8 0
                                    


Apresiasi tulisan ini dengan memberikan vote dan komen setidaknya beberapa biji. Yang bacanya offline langsung vote aja, ya! Vote kalian bakalan masuk setelah data nyala kok! Jadi kalian gak perlu bolak-balik nyalain data!!💜💜


________________________________








Jemari milik gadis bersurai panjang sedari tadi tak henti-henti mengetuk-ngetuk kecil dessert box yang telah tersaji di depan matanya. Sudah tujuh menit terakhir aktivitas yang dilakoni tak jauh-jauh dari menghela napas, menelungkupkan kepala dan berakhir celingak-celinguk seperti orang linglung.

Batinnya terus bertanya, apakah dessert dengan variant keju di depannya ini akan diterima Belfan dengan senang hati? Atau malah akan ditolak mentah-mentah olehnya?

“Lita!” Frisca menepuk bahu Pelita. “Lemes banget lo?”

“Hm?” Pelita melenguh malas. “Nggak papa.”

Friska menduduki kursi kosong yang terletak di samping Pelita. Ia memandang prihatin pada cewek itu. “Lo tuh ya ... kerjaannya galau mulu ... cewek cantik kok jadi sadgirl?”

Mata Friska beralih ke arah dessert box yang sedari tadi menarik perhatiannya. “Buat Belfan nih pasti?”

Friska yakin seratus persen bahwa asumsinya itu benar. Fakta tentang Pelita yang mengejar-ngejar Belfan dari kelas sepuluh sudah menjadi obrolan setiap hari bagi warga SMA PELIA, jadi tak mungkin jika Friska tidak menahu soal itu. Kelas sepuluh yang notabenenya baru masuk SMA ini pun ia yakin telah tahu fakta tersebut karena seringnya orang-orang menggosip.

“Lit lo nggak capek, Lit?”

Pelita terdiam begitu pertanyaan itu terlontar. Dalam hati, dia mengiyakan pertanyaan Friska. Tapi entahlah, Pelita belum bisa mengontrol antara hati dan logikanya.

“Enggak.” Pada akhirnya Pelita memilih untuk membohongi hatinya.

“Gue yakin lo pasti capek banget. Asli, gue kalau jadi lo mah tinggal pilih, Lit. Secara kan lo banyak yang suka.” Friska melirik Pelita sekilas. “Apalagi si Charlie tuh! Eh, lo kenapa nggak balik arah ke dia aja, sih?”

“Kelihatannya Charlie emang bener-bener tulus sama lo deh, Lit, bukan boongan,” lanjutnya.

Pelita memilih diam mendengarkan, walau otaknya sedang berkecamuk memikirkan banyak hal.

“Lit.” Friska menyelipkan anak rambut yang menutupi wajahnya. “Lo harus tahu ... bersanding sama orang yang udah paham seluk-beluk lo akan lebih baik daripada terus-terusan ngejar orang baru yang sama sekali nggak ngehargain lo. Ya kalau orang yang dikejar tahu diri, sih nggak papa, tapi ini ... ngelirik lo aja kayaknya dia males, Lit. Maaf, Lit gue bilang gini supaya lo sadar dan berhenti sia-siakan waktu lo cuma buat ngejar cowok brengsek kayak dia.”

Friska menarik napasnya dalam, kemudian melengkungkan bibirnya ke atas, seolah sedang memberikan kekuatan untuk Pelita. “So? Pikiran lo udah kebuka belum? Tengok ke belakang, lihat Charlie dan berusaha cinta sama dia aja gimana?” Ia menggaruk hidungnya sesaat setelah tersadar akan sesuatu. “Ya ... ya walaupun Charlie agak sedeng otaknya, tapi kalau dia bisa bahagiain lo ... nggak ada masalah, 'kan?”

Setelah memberikan wejangan, Friska memilih pergi, membiarkan Pelita memikirkan perkataannya. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar balasan dari Pelita.

“Lo nggak ngerti apa yang gue rasain, Fris. Semua orang boleh bilang gue bodoh karena terus ngejar-ngejar cowok yang kata lo brengsek, but i don't care. Hati gue nggak semurah itu untuk  dituntun orang lain buat beralih. Dan lo kira ... soal hati bisa dinegosiasi?”

Dua RiBu | HiatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang