LWF| API CEMBURU

448 70 16
                                    

Tubuh Pangeran membeku ketika matanya melihat sosok familiar dengan orang yang selama ini sembunyi. Menatap tak percaya seseorang itu yang kini ikut membalas tatapannya.

Deg









"Putri?"

Dengan tatapan lurus melihat satu objek, Pangeran terus berjalan mendekat kearah perempuan itu. Ketika sampai di hadapannya Pangeran tak bisa berkata walau hanya sepatah kata. Ia diam membisu dengan tatapan yang tak teralihkan dari wajah perempuan di hadapannya.

Putri tak bergeming, jantungnya berdebar gila di dalam. "Pangeran aku bisa---," ucapan Putri terpotong dengan tubuh yang di rengkuh oleh laki-laki jakung itu.

"Sorry, sorry, sorry." Pangeran mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Sedangkan Putri sudah mencengkram erat baju Pangeran dan menangis pilu di dada bidang itu.

"Maafin gue, Putri. Gue emang cowok brengsek," akunya merasa bersalah atas kejadian masalalu.

Pangeran semakin memeluk erat Putri. Matanya terpejam dengan bahu Putri yang bergetar hebat menandakan perempuan itu sampai menangis tersedu.

Pangeran mengurai pelukannya, menghapus sisa air mata Putri dengan ibu jarinya. "Jangan nangis, gue selalu ngerasa sakit liat lo gini." ungkap Pangeran menatap sendu Putri.

"A-ku, Ak-u--," suara Putri tersendat-sendat meskipun sudah tak menangis lagi.

"Suttt." jari Pangeran mendarat di depan bibir Putri, tak mengijinkan perempuan itu berbicara dulu. "Dengerin gue, gue bener-bener minta maaf. Waktu itu gue gak sadar, gue kalut, gue emosi, gu--e," kali ini Putri memotong ucapan Pangeran. Kepalanya menggeleng tanda tak mau Pangeran melanjutkan kalimatnya.

"Itu udah lama. Aku udah maafin kamu," kata Putri membuat Pangeran menatapnya intens. "Selama aku pergi aku belajar untuk maafin kamu. Untungnya ada yang nemani aku, yang buat aku ada alasan untuk tetap hidup."

"Sekali lagi maaf dan makasih."

Pangeran tak tahu lagi apa yang harus ia ucapkan selain kata itu. Karena saat ini hanya kata itu yang seharusnya keluar dari bibirnya, sebab selama ini kata itu tak pernah keluar untuk perempuan di hadapannya kini.

Hidup dalam rasa bersalah membuatnya tak tenang. Selalu menjadi orang yang terus di salahkan atas kejadian masalalu. Tak pernah di benarkan karena sejak awal sudah membuat kesalahan fatal. Yang mungkin akan membuat semuanya rusak kedepannya.

Keduanya hampir kembali saling memeluk sebelum suara balita menyadarkan, tidak menuruti kerinduan yang selama ini mengambang di atas kesalahan.

"Mamma.... Mamma," suara balita itu mengundang perhatian Pangeran. Pipinya bulat dan matanya terlihat basah seperti akan menangis dengan bibir yang sudah melengkung kebawah, sedih.

Putri sendiri sudah beralih menggendong balita itu lalu memberikan susu dotnya.

Batin dan otak Pangeran berperang, menentang suara batin dan membenarkan apa yang di pikirannya saat ini. "Gak mungkin," gumamnya tanpa sadar membuat Putri menoleh kearah Pangeran.

Pangeran beralih menatap Putri yang sama sedang menatapnya. Menunjuk kecil balita itu. "Dia.... siapa kamu?"

Putri memandang balita itu yang kini hampir terlelap, tersenyum tipis. "Aldebaran, kesalahan atas kejadian masalalu."





-ooOoo-





Vanessa berjalan sendiri di sepanjang trotoar jalan. Kepalanya menunduk, menendang krikil-krikil kecil yang menghalangi langkahnya.

Living With FangirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang