Vanessa duduk di tengah kasur. Ia melipat lututnya lalu dagunya bertopang di sana. Gadis itu menatap kosong hadapannya, memikirkan hal-hal yang akan ia hadapi dalam waktu dekat.
Pernikahan. Meminta di jodohkan. Riwayat hidup. Pangeran.
Rasanya Vanessa ingin menghilang saat ini juga. Bukan ini yang ia harapkan saat itu. Memang benar adanya jika Vanessa ingin menikah di usia muda, tapi bukan dengan Pangeran.
Bagaimana bisa ia bertahan hidup satu atap dengan haters? Bisa-bisa dia yang di buat stroke oleh Pangeran duluan. Tidak! Ia tidak mau!
Semalam setelah ucapan Damian, Vanessa tidak bisa menolak lagi. Bagaimana bisa ia menolak? Jika sebelum itu Damain telah menyampaikan bahwa ia tidak bisa menolak lagi saat keluarga laki-laki datang. Dan dengan bodohnya ia mengangguk mantap dan tersenyum lebar saat itu juga.
Lagipula semua bukan sepenuhnya kesalahan dia. Seandainya ia tahu laki-laki itu adalah orang yang ia temui di jalan, Vanessa tentu akan menolak keras laki-laki pilihan Damian. Sialnya Pangeran juga sama sekali tidak protes. Ia seolah bungkam meskipun Vanessa tahu laki-laki itu jelas tidak terima dengan perjodohannya, Vanessa melihat semua itu dari raut wajah Pangeran.
Semalaman Vanessa merenungkan ini sampai tidak tidur. Hanya ada dua pilihan dan dua pilihan itu tidak ada yang bagus sama sekali untuk ia pilih. Jika ia menolak perjodohan itu maka kedua orang tuanya yang menanggung malu. Dan jika ia menerima perjodohan itu dialah yang paling di rugikan di sini.
"Nessa? Kamu udah bangun, nak?"
Ketukan pintu dan suara dari arah luar kamar membuat Vanessa tersadar akan dari renungannya. Gadis itu melihat ke arah pintu kamar lalu beralih menatap jendela yang tidak ia tutup tirainya.
Vanessa melototkan matanya sepontan. Gadis itu melompat dari kasur setelah melihat jam weker yang menunjukan pukul tujuh lewat. Ia berlari tergesa-gesa memasuki kamar mandi tanpa menyahut suara Aletta di luar.
"Ingwet, gak perwlu mwandi! Cwukup sikat gigi, cuwci muka, pakew miwnyak wangi bwanyak-bwanyak. Tanpwa mandi lo juga uwdah cantikw pariwpurna," gumamnya tidak jelas sebab ia tengah menggosok gigi.
Tidak perlu waktu lama bagi Vanessa untuk bersiap ke sekolah. Saat ini ia telah rapi dengan seragamnya dan berdiri di depan meja belajar, tangannyapun tak tinggal diam memasukkan buku pelajaran dengan asal-asalan.
Yang terpenting bawa diri ke sekolah itu lebih baik daripada sama sekali tidak berangkat sekolah.
Vanessa keluar kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia berlari menuruni tangga lalu menuju dapur untuk meminum air putih. Saat ini ia tidak punya waktu banyak hanya untuk sarapan.
"Nessa, kalo minum duduk. Jangan sambil berdiri gitu," tegur Aletta yang melihat Vanessa minum dengan berdiri.
"Gak sempet, Ma! Lagian kenapa Mami gak panggil Nessa dari tadi sih!" Gerutunya kesal lalu tak lupa juga ia mencium Pipi Aletta sebelum pergi meninggalkan kediaman keluarga Damian.
-ooOoo-
Vanessa berdiri di depan sekolah. Ia menatap miris gerbang sekolah yang telah tertutup rapat. Tidak mungkin Vanessa memanjat pagar itu hanya untuk masuk ke dalam sekolah. Maka pilihan terbaik saat ini adalah membolos.
Vanessa membalikkan badan hendak pergi. Namun, suara derap langkah dan panggilan membuat ia mengurangkan niatnya.
"Vanessa mau kemana lo!"
Tanpa membalikkan tubuhnya, Vanessa sudah tahu siapa pemilik suara itu. Dia adalah Rega Dirgantara, ketua osis yang menyebalkan bagi Vanessa. Bagaimana tidak menyebalkan? Setiap mereka bertemu atau berpas-pasan Rega selalu memberi hukuman padanya hanya gara-gara bajunya yang ketat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Living With Fangirl
Novela Juvenil"Baju gue mana kerdil?!" Vanessa berlari tergopoh-gopoh saat mendengar teriakan itu sembari membawa wajan kosong ke dalam kamar Pangeran. Ia mencari asal baju Pangeran dalam lemari sampai tanpa sadar cewek itu membuat isi lemari berantakan. Setelah...