Jackson|Lima

118 18 9
                                    


Kali ini Panji menepati janjinya. Tepat saat Rain keluar dari kantor, BMW putih Panji sudah terpakir didepan lobi. Laki-laki itu menunggu diluar mobil sambil bersandar. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel.

"Panji" Rain menepuk bahu laki-laki itu pelan, membuat ponsel yang tadi digenggamnya jatuh mencium tanah karena terkejut. Padahal Rain menepuk pelan, berniat menyadarkan saja.

"Eh, ka-kamu. Udah lama?" Panji berubah gugup.

Rain mengangkat sebelah alisnya, lalu tersenyum. "Kamu fokus banget main ponselnya. Itu ponselnya sampe jatoh karena kaget"

Panji tersenyum, menggaruk tengkuknya yang tak gatal," Langsung pulang?"

"Bukannya kamu mau ngajak aku makan diluar?"

"Eh, iya. Ayo"

Panji membukakan pintu untuk Rain. Setelahnya, Panji menyusul duduk dikursi kemudi.

Mobil dijalankan meninggalkan area kantor. Rain tersenyum bahagia. Selama diperjalanan, Panji sangat bawel. Dia membuat lawakan garing yang membuat Rain tertawa. Dia juga meminta maaf karena telah mengabaikan Rain selama ini.

Laju mobil berhenti disebuah restoran. Ini adalah tempat dinner Rain dan Panji malam ini.

Rain keluar setelah Panji membukakan pintu mobil. Keduanya berjalan bergandemgan memasuki restoran.

"Kamu mau makan apa?" tanya Panji yang sibuk membolak balik buku menu.

"Samain aja sama pesenan kamu" jawab Rain yang dibalas anggukan dari Panji.

Panji memanggil pelayan, "Spagetti meet ball, dua. Sama orange jusnya juga dua" Pelayan itu mengangguk setelah mencatat pesananan Panji. Kemudian pelayan itu pergi menerima pesanan dari meja lain.

"Gimana kabarnya akhir-akhir ini?" Panji buka suara.

Rain menghela nafas, "Cukup baik. Kamu sendiri gimana?"

"Ya, lebih baik. Urusan kantor aman terkendali, soal penggelapan uang perusahaan, pelakunya udah ditangkap" balas Panji sambil menyeruput orange jus yang baru saja diantarkan pelayan.

Rain ikut meneguk minumannya. Entah kenapa, suasana tiba-tiba terasa canggung. Mereka sudah sangat lama tidak bertemu. Jangankan untuk bertemu, kontak-kontakan satu sama lain hanya satu windu sekali.

"Aku minta maaf, Rain"

Panji meminta maaf, lagi. Untuk yang kesekian kalinya.

Panji meraih tangan Rain, menggenggamnya erat. Ia menunduk dalam, "Maaf, selama ini aku udah nyia-nyiain kamu. Aku udah buat hati kamu terluka. Aku udah bikin kamu nangis terus-terusan. Aku, aku jahat sama kamu." Dia berkata dengan nada penuh penyesalan.

Rain tersenyum, menangkup wajah Panji dengan tangannya yang satu lagi, agar Rain dapat menatap wajah laki-lakinya itu lekat. "Kamu nggak salah. Kamu nggak nyakitin aku. Aku juga nggak marah sama kamu. Jadi stop minta maaf, Nji"

Disaat itu juga, Panji sadar. Sangat rugi jika ia menyia-menyiakan wanita sebaik Rain. Panji tau Rain berbohong. Jelas, semua sikap dan perbuatan Panji kepadanya selama ini pasti menyakiti hati wanita itu.

"Kamu jangan sering-sering kasih maaf ke aku,"

"Kenapa? Emang kalau aku maafin kamu, aku bisa bangkrut? Bisa jatuh miskin cuma ngasih maaf walau udah seribu kali ke kamu? Enggak kan, Nji?"

Panji diam. Tangannya bergerak menyusuri wajah Rain. Ia tatap lekat, kemudian ia cium kening gadis itu cukup lama. "Aku kayaknya--" Panji menggantung ucapannya.

Rain mengeryit, "Apa?"

Panji menggeleng. Ia meraih sesuatu dari balik jasnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah.

"Siniin jari kamu" pinta Panji sembari mengulurkan tangannya.

"Untuk?"

"Sini" Panji meraih tangan Rain. Membuka kotak merah itu, kemudian mengeluarkan cincin berlian dari kotak itu dan menyematkannya di jari manis Rain.

Tidak ada kata-kata yang mampu mendeskripsikan perasaan Rain saat itu. Cincin di jari manisnya membuat Rain tersenyum lebar. Sangat senang. Tidak menyangka dengan apa yang diberikan Panji padanya.

"Ini cantik banget." puji Rain, kagum.

"Iya, kayak kamu" balas Panji. Rain tersenyum malu dibuatnya.

Selagi Rain masih senyum-senyum sendiri dengan hadiah pemberian Panji, lain dengan laki-laki itu. Wajahnya yang tadi dipenuhi keceriaan, berubah murung. Seolah ada sesuatu yang membebani pikirannya.

"Hm, Rain" panggil Panji.

Yang dipanggil menoleh, masih dengan senyum yang sama. "Ya,"

"Aku mau ngomong sesuatu"

"Omongin aja. Aku dengerin kok."

Panji tampak menghela nafas, lalu meraih tangan Rain untuk kembali digenggam. "Kayaknya, aku bukan seorang laki-laki yang baik buat kamu," Panji menjeda dan kembali menghela.

Rain mengeryit, namun belum berkomentar. Masih menunggu kelanjutan kata yang keluar dari mulut laki-laki itu.

"Aku mau hubungan kita berakhir sampai disini, Rain"

Mata Rain melotot, terkejut. Ia seolah sedang didorong dari atas pesawat yang sedang terbang diatas lagi setelah sebelumnya ia diajak terbang tinggi dengan rasa bahagia.

"Kamu bercanda, Nji?"

Panji menggeleng.

Rain menatap Panji. Tidak menyangka dengan keputusan yang diambil laki-laki itu. Mengakhiri semuanya?

"Kamu nggak salah ngomongkan, Nji? Bilang ke aku kalau kamu cuma bercanda." Rain masih berusaha menepis fikiran buruk tentang ucapan Panji. Ia masih berusaha berfikir kalau ini hanya candaan Panji yang berujung sebuah kejutan. Ya walaupun begitu, dadanya tetap terasa sesak. Matanya tetap ingin mengeluarkan air mata.

Panji berniat kembali meraih tangan Rain untuk menggenggamnya, sekaligus berusaha menjelaskan dan mengakhiri hubungan mereka dengan cara baik-baik. Namun, tangan Panji lebih dulu ditepis oleh Rain.

"Kamu tega, Nji. Kamu tega sama aku. Jadi, apa maksud kamu ngasih aku cincin? Apa maksud kamu baik-baikin aku? Apa maksud kamu bikin aku bahagia kalau ujung-ujungnya kamu nyakitin aku." Rain menjatuhkan air matanya. Kali ini hatinya benar-benar sakit.

"Bukan, maksud aku nggak gitu--"

"Terus apa? Kamu ngasih aku kenang-kenangan biar bisa diinget terus dan bikin aku gagal move on sama kamu? Iya? Atau biar--"

"Karena aku sayang sama kamu, Rain!" potong Panji.

"Oh sayang. Cara kamu sayang ke aku beda ya sama orang lain. Kalau orang lain sayang ke pacarnya, ngasih kebahagiaan ke pacarnya. Kalau kamu, ngasih luka ke pacarnya. Beda banget!"

Rain beranjak dari duduknya. Dengan mata yang mulai berair ia beranjak keluar meninggalkan Panji yang terus-terusan memanggilnya. Laki-laki itu benar-benar membuatnya hancur. Kalau tau begini, lebih baik dari dulu saja ia putus dari Panji. Tapi sayangnya ia tidak pernah memprediksi kejadian ini karena ia selalu berfikir bahwa sikap Panji adalah bukti dari bentuk kasih sayangnya. Rain merasa dirinya bodoh sekarang.

"Gue benci lo! Benci!!" teriak Rain disela-sela langkahnya. Ia benci namun tetap menangisi.

"Kamu benci saya?"


Sekian!
Jangan lupa vote and komen!

Next~~~

JACKSON [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang