Jackson |Empat Puluh Tiga

30 4 0
                                    

Semenjak tunangan, Panji jadi sering main ke kontrakan Rain. Saat ditanya ngapain, dia hanya menjawab dengan cengiran. Hampir setiap malam, dia datang membawa hantaran. Eh, maksudnya makanan. Cimol, martabak, mie ayam, bakso dan seulas kenangan ketika mereka masih bersama. Sikap Panji juga mulai berubah secara perlahan. Suara lembut yang tak pernah dia dengar selama tiga tahun menjalin hubungan terdengar manis ditelinga Rain. Namun sayang, Rain belum bisa menerima semuanya begitu saja. Seharusnya Panji menunjukkan sikapnya yang sekarang ketika mereka masih bersama.

Kini, kedua sejoli itu duduk di atas dipan bambu di teras kontrakan. Menatap langit malam yang terlihat cerah bersama bulan tidak penuh. Jaya tadi pamit pulang ke rumah, katanya Mama Raisa ada perlu dengan ayahnya itu. Jadilah, di kontrakan ini mereka hanya berdua.

Panji menghela nafas panjang. Tidak ada percakapan diantara keduanya yang mengisi sunyinya malam. Hanya jangkrik yang berbunyi, mengisi ruang diantara keduanya agar tidak terlalu sepi.

Laki-laki itu meraih sesuatu dibalik saku hodienya. Undangan berwarna emas yang dia dapat dari Pak Bambang, perusahaan sahabat. Panji belum membuka undangan itu sama sekali. Tidak perlu juga karena nama kedua mempelai sudah tertera di sampulnya.

"Rain,"

Perempuan yang sibuk menghitung bintang itu menoleh. Dia menaikkan kedua alisnya seolah bertanya 'apa?'

Panji memberikan undangan itu pada Rain. Bukan kejam,Panji hanya ingin Rain menemaninya datang memenuhi undangan itu.

Rain menerima undangan itu. Undangannya hampir mirip dengan undangan yang diberikan Jackson kemarin malam, hanya saja ini beda warna. Perempuan itu menghela nafas. Meletakkan undangan itu disebelahnya, tak ada niatan untuk membukanya lebih dalam.

"Gue udah tau," ujarnya menatap lurus ke depan.

Rain salah arti. Panji tidak ada niatan begitu. "Gue bukan mau ngasih tau, tapi mau minta lo temenin gue ke acara itu."

"Gue nggak mau," tolak Rain cepat.

Panji mengulum bibirnya. Dia tahu apa yang dirasakan perempuan itu. Pasti sakit rasanya saat tahu kekasihnya menikah dengan orang lain. Dan mungkin, itu juga yang Jackson rasakan saat Panji merebut paksa Rain darinya.

"Gue nggak tau mau ngajak siapa lagi. Itu undangan penting buat gue. Yang ngundang temen bisinis gue. Pak Bambang itu kolega."

Rain tak merespon ucapan Panji. Dia memilih pura-pura tak mendengar dan bergumam menghitung bintang. Atau sedang berusaha menapik kenyataan bahwa Jackson akan menikah besok. Mereka memang telah usai, tapi Rain belum bisa menerima kata berakhir yang tercetus dari mulut laki-laki itu. Masih ada rasa yang belum bisa di hilangkan. Masih ada cinta yang terpendam.

"Oke deh. Gue nggak usah dateng aja sekalian." Panji mengembuskan nafas pasrah. "Malu kalau ditanyain pasangannya mana."

Rain masih geming.

Panji juga memilih diam. Tak ada kata yang bisa mereka ulas. Tak ada cerita yang mereka kisahkan. Kenangan mereka terlalu pahit. Sakit. Pedih. Semua yang telah lalu membuat salah satu diantara keduanya membeku. Tak sehangat dulu dan Panji paham akan itu.

Masa lalu memaksa menyusupi masa depan. Panji tidak mengatakan kalau dirinya salah karena telah memaksa Rain bersamanya. Semua yang terjadi sudah dia anggap takdir. Walau nyatanya, dia memaksa takdir itu untuk ada bersamanya.

"Maaf," akhirnya dia kembali bersuara dan hanya itu yang bisan Panji suarakan.

"Maaf. Karena gue, lo dan Jackson nggak bisa bersama. Karena keegoisan gue, lo terpaksa nerima cincin itu. Karena cinta gue, lo terpaksa mencintai gue."

"Maaf, gue udah hancurin kebahagiaan lo." Dia tidak salah, namun ada sedikit rasa bersalah. Dia sadar. Dia merasa dirinya jahat.

Rain memicingkan mata sembari menghembuskan nafas kasar. Dia mengusap setitik air yang terbit di sudut matanya, kemudian menoleh, menatap Panji. "Lo nggak salah, tapi lo jahat. Lo...tega. Lo egois. Lo maksa gue buat ada disisi lo setelah lo buang gitu aja. Lo emang nggak salah. Yang salah itu gue. Gue salah karena ketemu sama orang kayak lo!"

"Maaf, Rain. Gue ngelakuin ini semua karena gue cinta sama lo. Gue sayang sama lo. Gue mau lo jadi milik gue."

Rain terkekeh miris. "Sayang? Cinta? Nggak gini caranya, Nji. Kalau lo sayang dan cinta sama gue, perjuangin pakai usaha lo sendiri. Nggak kayak gini."

Panji menggeleng. "Kalaupun gue berjuang, mau nggak lo ngehargain perjuangan gue? Mau nggak lo nerima perjuangan gue? Mau nggak lo jadi hasil dari perjuangan gue? Enggak kan?"

Panji terkekeh. Mungkin apa yang dia lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan di mata Rain. Dia berjuang, namun dianggap salah. "Tiga tahun gue berjuang Rain."

"Apa yang lo perjuangin?" potong Rain cepat. "Gue yang susah-susah berjuang selama tiga tahun, sementara lo, cuma bisa hancurin semua perjuangan gue!"

"Tiga tahun gue bangun perusahaan gue yang sekarang supaya pas kita nikah nanti gue punya tempat buat nyari nafkah. Tiga tahun gue ngeluarin duit buat bangun rumah buat kita. Tiga tahun gue bujuk nyokap bokap buat pulang supaya mau ketemu sama calon menantunya dan lo nggak liat itu semua!"

"Gue juga berjuang. Lewat tenaga dan juga hati secara diam-diam."

Rain berdecih. "Omong kosong!"

"Ya, emang omong kosong. Karena omong kosong itu, gue tipes. Setelah tipes, gue di rehabilitasi karena kecanduan narkoba." Panji terpaksa mengungkapkan apa yang susah payah dia rahasiakan selama ini. "Kurang bulshit apalagi, hah?"

Kaget? Jelas. Rain tak pernah tahu tentang masalah dan segala cobaan yang dialami Panji. Dia hanya sibuk memaki karena Panji lost kontak selama dua tahun. Laki-laki itu tidak pernah menceritakan semua masalahnya pada Rain. Dia selalu baik-baik saja ketika mereka makan malam bersama. Sorot lukanya tak pernah terlihat atau mungkin Rain yang tak pernah menyelami kedua bola mata laki-laki itu.

"Nggak usah kaget. Telat."

"Sorry, Nji. Gue nggak pernah tau soal itu. Gue pikir lo sibuk selingkuh sampe lupa ngabarin gue."

"Emang. Tiga bulan terakhir gue selingkuh. Berharap, apa yang gue rasain bisa gue lampiasin ke selingkuhan gue. Gue nggak mau lo kena pukul. Gue minta putuspun karena udah nggak tega buat ngelanjutin hubungan kita yang gue sadari udah nggak baik. Tapi, hati gue maunya elo. Gue coba kejer lo balik, tapi lo nolak keras dan Jackson ngaku kalau dia bakal jadi suami lo."

"Seharusnya lo bilang dari awal, Nji. Seharusnya lo nggak pendem semuanya. Kenapa sih jujurnya baru sekarang? Kenapa harus sekarang, hah?!"

"Gue nggak mau masalah gue jadi beban buat lo."

"Lo dan gue adalah kita. Masalah lo masalah gue, begitupun sebaliknya. Seharusnya kita saling terbuka." Rain akhirnya terisak. Kepalanya jatuh di bahu Panji. Emosinya cukup terkuras untuk menerima ucapan Panji dan mengeluarkan semua gundah gulana di hati.

Panji mengusap rambut Rain lembut. Dia lega karena semua yang dia tahan telah tersampaikan. Tak apa jika Rain masih belum bisa menerimanya. Setidaknya, dia telah mendengar semuanya. Perjuangan yang salah dan tidak berarti itu telah menunjukkan maknanya.

Jauh di halaman kontrakan, Jackson berdiri terpaku menatap dua sejoli itu. Dia datang untuk mengucap salam perpisahan dan memberikan gaun khusus yang dibuatkan oleh disainer ternama atas pesanan dari mamanya. Jackson sebenarnya juga tidak mau datang kesini dan bertemu Rain lagi, tapi ini karena mamanya.

"Secepat itu kamu lepas dari saya, Rain," bisiknya nanar.

Kedatangannya malah untuk menyaksikan romantis ria kedua manusia itu. Menambah luka di hati saja. Kalau tahu begini, Jackson datang bersama Sutra saja. Biar sepupunya itu yang memberikan amanah sang mama dan dia duduk di mobil memperhatikan.

Hatinya masih rapuh.

Semuanya masih terasa menyakitkan.

Ruang untuk berjuang sudah tidak ada lagi.

Jackson, menyerah Jenderal!

Jangan lupa votment!
Next...

JACKSON [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang