Pria berperawakan tinggi dengan setelan kemeja hitam lengan pendek dan celana pendek berwarna coklat itu berjalan mendekati Rain yang duduk diatas dipan diteras rumahnya. Rain tadi memang sedang menunggu Jackson dan yang ditunggupun akhirnya sudah datang.Jackson berdiri dihadapan Rain yang masih belum beranjak dari dipan bambu itu. Tatapan laki-laki itu datar dan dingin seperti biasanya. Rain mendongak, lalu akhirnya bangkit. Dia tersenyum, melambaikan tangannya didepan wajah Jackson.
"Pagi, Pak," sapanya.
Jackson menatap tanpa ekspresi, "Pagi. Ayo, kita kerumah sakit sekarang."
Rain mengangguk, mengikuti langkah Jackson yang sudah berjalan mendahului. Jackson membukakan pintu depan untuk Rain, kemudian memutari mobil untuk masuk menuju kursi kemudi tanpa menunggu Rain masuk terlebih dahulu.
Rain hanya menanggapi perbuatan Jackson dengan kekehan pelan. Cara laki-laki itu memperlakukannya sangat lucu. Setelah memastikan Rain duduk disebelahnya, Jackson mulai menghidupkan mesin mobil, melajukannya meninggalkan area kontrakan tanpa mengatakan apapun.
Selama diperjalananpun mereka banyak diam. Rain terlihat enggan membuka suara atau mencari topik percakapan. Sementara Jackson, pria itu sibuk dengan telvonnya. Entah siapa yang menelvon, yang jelas dia terlihat kesal namun masih bisa berbicara dengan nada tenang. Setelah mematikan sambungan sepihak, Jackson melempar ponselnya ke kursi belakang membuat Rain terkejut setengah mati saat mendengar bunyi layar retak. Ponsel itu pasti jatuh mengenai lantai mobil, bukan kursi mobil.
Sesampainya dirumah sakit, Jackson juga belum mengeluarkan suaranya. Rain sampai bingung dengan sikap Jackson yang aneh. Sebenarnya tak aneh lagi, itu memang sikapnya seperti biasa. Tapi ya, begitulah. Aneh.
Rain mengekori langkah Jackson, mencari dimana letak ruangan Dokter Aryo. Jujur, jantung Rain berdebar-debar, tak tau karena apa. Jackson yang akan chek-up, Rain yang gugup.
Akhirnya, mereka tiba diruangan Dokter Aryo. Rain pikir, dokter itu sudah tua. Ternyata dia masih muda dan tampan pula.
Dokter Aryo tersenyum lebar, sangat bahagia dengan kehadiran Jackson. Dengan segera dokter muda itu bangkit, menghampiri Jackson. Dia menjabat tangan Jackson dengan semangat. Sedangkan sang empu nampak tak peduli.
"Akhirnya, Ja. Kamu datang juga kesini," ujar Dokter Aryo. Dia mempersilahkan Rain dan Jackson untuk duduk.
"Jadi ada urusan apa anda memanggil saya?" tanya Jackson to the point.
Dokter Aryo terkekeh. Dia membuka laci, mengambil sekantong obat dan keletakkannya di hadapan Jackson. "Ini, kamu harus bertemu lagi dengan mereka."
Alis Jackson terangkat, lalu menatap sekantung obat yang berada dihadapannya. Jika saja obat-obat itu punya nyawa, pasti sekarang mereka sedang meledek Jackson. Menertawai pria muda itu karena dulu pernah menyia-nyiakan mereka namun kini obat yang katanya sialan itu kembali dibutuhkan.
"Saya tidak butuh itu, Aryo," ujar Jackson datar lalu mendorong obat itu menjauh dari hadapannya.
Dokter Aryo menghela nafas. Dugaannya benar. Jackson tidak mau mengkonsumsi obat-obatan lagi atau hal semacam yang bisa memberinya harapan untuk sembuh. Dokter Aryo paham dengan keputus asaan Jackson. Namun, ini terlalu berlebihan. Jalan untuk sembuh masih ada dan pria itu malah menyia-nyiakannya.
"Kamu perlu ini, Ja. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Asal kamu tau, harga sekantung obat ini sama dengan satu kornea mata kamu. Saya rela keluar uang banyak demi kamu. Saya juga mau kamu sembuh, Jackson."
Jackson memutar bola matanya malas. Tangannya bergerak mengambil dompet di saku celana. Mengeluarkannya lalu mengambil segepok uang berwarna merah dan memberikannya pada Dokter Aryo.
KAMU SEDANG MEMBACA
JACKSON [SELESAI]
Fanfic[Follow akun ini biar kita saling kenal] [Don't copy my story! Asal lo tau, mikirin ide sama alur ini cerita lebih susah dari rumus percintaan] Jackson, bos perusahaan di tempat Rain bekerja memintanya untuk menjadi pacar pura-pura saat menghadiri...