Jackson |Lima Puluh Satu

40 6 0
                                    

Rain katanya bosan di kamar, merengek pada Jackson untuk diajak cari angin diluar. Jackson sempat menolak, namun kekuatan perempuan memang tak bisa dilawan. Rain yang mahir merayu membuat keduanya terdampar di pinggir jalan seperti gelandangan.

Jackson menghela nafas, menoleh, menatap Rain yang duduk di sebelahnya. Mereka sedang menikmati arus kendaraan sore di bawah pos di luar area rumah sakit. "Ngapain sih kita disini?"

"Nyari angin," jawab Rain lalu menunjukkan senyum manisnya.

"Yang ada angin yang nyari kita," balas Jackson.

Rain hanya tersenyum lebar. Perempuan anggun itu tampak manis sekali meskipun tengah mengenakan seragam pasien. Wajah pucatnya tetap berseri. Tak ada yang berubah. Rainnya tetap sama.

Jackson terpana cukup lama. Irama terpesona yang dinyanyikan bapak-bapak polisi terngiang-ngiang dikepalanya. Terlebih lagi ketika rambut panjang Rain diterpa angin. Terbang dengan gaya slowmotion tanpa memudarkan backsound terpesona yang semakin menggema.

Jackson tak pernah sedeg-degan ini. Rasanya berbeda saat menatap wajah perempuan itu tanpa henti. Bahagia saja rasanya. Bahagia yang entah karena apa. Mungkin karena hatinya telah jatuh terlalu dalam pada perempuan itu atau Jackson yang terlalu takut kehilangan Rain sehingga setiap detiknya terasa sangat berarti.

"Eh, malah senyum-senyum sendiri. Lagi liatin apaan sih?" Rain membuyarkan lamunan indah Jackson.

Laki-laki yang memiliki tahta tertinggi di hati Rain itu mengerjap, menggelengkan kepalanya pelan, membuat Rain yang melihatnya jadi heran sendiri. Ini Jackson kenapa?

"Hah? Apa?"

"Lagi liatin apa? Panjang banget lamunannya."

"Ada bidadari."

"Mana?"

"Ini," Jackson menunjuk Rain kemudian tertawa kecil. "Ini bidadari. Bidadarinya Jackson. Limited edition. Nggak dijual dimanapun. Cuma untuk Jackson seorang," sambung laki-laki itu yang berhasil membuat Rain tergelak.

"Ya Allah, apaansih. Ngelawak aja," ujar Rain dengan tawa yang mulai menyamar.

Jackson tersenyum tipis. Tangan kekarnya terulur mencubit pipi Rain. "Nggak ngelawak. Ini, ini beneran bidadari!" Dia berkata heboh. "Cantik banget. Nikah yuk?"

"Semakin hari udah pinter banget ngalusnya ya, Pak," sindir Rain mengusap pipinya yang baru saja dicubit Jackson.

"Bukan ngalus, tapi ngomongin kenyataan. Btw burung merpatinya lucu ya?" Jackson menunjuk sepasang merpati yang entah punya siapa dan datang dari mana yang sedang berkeliaran di samping ruko di seberang jalan.

Rain berdecak. Memukul lengan Jackson pelan karena ucapan laki-laki itu tidak nyambung. "Nggak nyambung, Pak. Btw lucu, kayak kita."

Jackson berseru lalu menyentil dahi Rain. "Kamu juga nggak nyambung."

"Kan ngikutin kamu," Rain cengengesan.

"Jangan ngikutin aku."

"Lah? Kenapa?"

"Susah pokoknya."

"Kenapa susah?"

"Soalnya aku mau pergi jauh."

Disaat itu juga senyum di wajah Rain lenyap. Dia menatap Jackson tak percaya. "Kamu mau pergi kemana? Kok nggak bilang ke aku?"

"Aku mau pergi ke sini." Jackson menunjuk dada Rain. "Hati kamu yang jauh banget. Susah buat kesana dan sekarang aku bersyukur karena aku bisa kesana tanpa pasport atau apapun. Bahkan nggak perlu pakai pesawat."

JACKSON [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang