Jackson |Lima Puluh

42 4 0
                                    

Jackson langsung putar balik, berjalan cepat mendekati bangsal Rain. Dia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih aman dan mentalnya tidak mode depresi berat sehingga suara Rain terus menjadi halusinasinya. Jackson ingin memastikan bahwa Rain yang bersuara adalah Rain yang kini membuka matanya sayu, berusaha menatap Jackson yang sudah tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Rain?" Jackson melangkah lebih dekat, menatap lebih lekat. "Kamu, ini beneran kamu?"

Perempuan itu masih tak berdaya. Pergerakannya susah karena terhalang beberapa alat yang terpasang di tubuhnya. Masker oksigen yang menutupi mulutnya juga mempersulit Rain untuk menggerakkan kepalanya.

"Rain. Ini beneran kamu." Jackson meneteskan air mata bahagia. Tak menyangka kedatangannya ke sini akan menjadi sebahagia ini.

"Ja," panggil Rain dengan suara pelan, nyaris tak terdengar.

Jackson mengusap air matanya kasar. "Iya, aku disini. Kamu mau bilang apa, hm? Ada yang sakit?"

Rain menggelengkan kepalanya. Senyum tipis terbit di bibir perempuan itu. "Maafin aku."

"Kamu nggak salah, Rain. Kamu nggak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang minta maaf sama kamu. Coba aja waktu itu aku nggak nyuruh kamu balik, kamu pasti nggak akan kecelakaan kayak gini."

"Bukan salah kamu, Ja. Kalau aja aku nggak kecelakaan, mungkin aku nggak akan pernah tau kalau ternyata kamu masih cinta sama aku."

Jackson mengangkat kedua alisnya. "Kamu, kamu denger semua yang aku omongin?" tanya Jackson cukup terkejut.

Rain lagi lagi tersenyum. "Aku belum mati. Cuma lagi berjuang buat tetep sadar."

Jackson benar-benar tak bisa berkata-kata. Perasaan bahagia sudah terlalu mendominasi hatinya. Pada akhirnya yang Jackson lakukan adalah memeluk tubuh Rain erat. Kembali meneteskan air matanya disana. Tangis bahagianya yang sudah tak bisa ditahan.

"Makasih. Makasih karena udah mau bangun lagi," ujar Jackson di sela-sela tangisnya.

Rain mengusap punggung tegap Jackson. Berusaha menenangkan laki-laki itu. "Makasih karena kamu juga udah mau sembuh."

"Gue yang nungguin, dia yang dipeluk."

Keduanya melepas pelukan. Menatap kaget ke arah Panji yang berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu melangkah masuk, disusul Ramon dan dokter serta perawat yang datang untuk mengecek keadaan Rain.

"Panji," panggil Rain tak enak hati.

"Santai aja," jawab laki-laki itu tersenyum kecut. "Gue kebetulan juga mau kesini tadi. Buat nengokin lo udah bangun apa belum. Ternyata udah."

"Nji,"

Jackson menatap Panji dan Rain secara bergantian. Seharusnya dia sadar bahwa Panji lebih berhak berada di sisi Rain untuk saat ini. Dia yang selalu menemani Rain disaat perempuan itu belum usai dengan tidur panjangnya. Panji yang selalu ada di sini. Sedangkan dirinya, ini adalah kali pertama Jackson menemui Rain.

"Sepertinya saya harus keluar." Jackson melangkah menjauhi bangsal Rain. Namun saat melewati Panji, bahunya di tahan laki-laki itu.

"Lo nggak usah keluar. Rain lebih butuh lo disini," ujarnya.

"Gue bukan siapa-siapa."

Panji tersenyum pedih. Jackson bukan memang siapa-siapa tapi diinginkan Rain. Sementara dirinya, ada namun tidak diinginkan. Jelas peran Jackson lebih di butuhkan dari pada dirinya.

"Rain butuh lo disini sekalipun lo bukan siapa-siapanya. Gue juga tau, lo juga butuh Rain, kan?"

"Maksud lo?" Jackson tak paham dengan ucapan Panji.

JACKSON [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang