Jackson|Tiga Puluh Sembilan

29 6 0
                                    

Pagi ini  semangat Rain untuk berangkat ke kantor lenyap di sapu angin. Mengingat kejadian kemarin, saat dimana Jackson marah dan memutuskan untuk break, membuat Rain semakin merasa bersalah. Dia sadar, kejadian kemarin adalah salahnya tapi ada sedikit kesalahpahaman yang di tangkap Jackson.

Ditambah lagi dengan Panji. Malam ini, acara lamaran dirinya dengan laki-laki yang berstatus mantannya itu akan di gelar. Tadi malam, Panji datang ke rumah dan memberitahukannya pada Rain. Bahkan gaun pesta dan pernak perniknya sudah di siapkan oleh laki-laki itu jauh-jauh hari. Dia benar-benar telah merencanakan ini semua. Sungguh perencanaan yang sangat bagus. Semoga acaranya juga bagus.

Kaki Rain yang hendak melangkah memasuki area kantor terhenti kala matanya menangkap keberadaan Jackson di parkiran. Pria itu baru keluar dari mobilnya. Berjalan dengan gagah ke arahnya. Salah satu telingannya di sumpal earphone. Kaca mata hitam bertengger di atas hidung mancungnya. Sangat klop dengan kemeja hitam yang dia kenakan dan celana pendek coklat. Jackson ganteng sekali.

Mulut Rain yang hendak menyapa kembali tertutup saat Jackson berlalu melewatinya begitu saja seolah dirinya tidak ada di sana. Wajah Rain yang tadinya agak cerah kembali muram. Jackson masih marah padanya dan jangan lupakan kata break yang diucapkan laki-laki itu. Eh, bukan diucapkan melainkan diketik lalu dikirim lewat sosmed.

Rain melanjutkan langkahnya dengan wajah lesu. Dia harus bicara empat mata dengan Jackson. Rain tidak bisa seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan keberadaan Jackson di sisinya. Sapaan hangat dan lemparan senyuman manis itu. Rain rindu. Sangat asing rasanya dengan perubahan Jackson.

"Rain!" teriak Tera yang kini tengah berlari menghampirinya.

Rain menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"

"Lo disuruh Pak Jackson ke ruangannya," ujar Tera membuat Rain sedikit kaget. Tadi mereka berpapasan tapi Jackson tidak mengatakan apa-apa. Lah sekarang, dia malah meminta Rain ke ruangannya dengan perantara mulut Tera.

"Ngapain?" tanya Rain ketus.

Tera mengedikkan bahunya acuh. "Mane gue tehek. Mending samperin gih. Kasian pacar lo nungguin."

"Lo nggak lagi prank gue kan?"

Tera berdecak. "Enggak. Cepet samperin sana! Keburu di potong gaji baru tau rasa!"

"Iya. Gue kesana."

***

Rain mengetuk pintu ruangan Jackson dengan perasaan campur aduk. Takut, bahagia, perasaannya tidak menentu. Setelah dapat sahutan dari dalam, Rain mendorong pintu itu hingga terbuka kemudian menutupnya lagi.

"Hm, Ja-Bapak manggil saya?" tanya Rain gugup, menatap punggung Jackson. Laki-laki itu sedang berdiri menghadap jendela yang ada di ruangan itu. Kedua tangannya tenggelam di saku celana dan earphone masih menyumpal salah satu telinganya.

Jackson berbalik. Menatap tubuh Rain yang berdiri lima langkah darinya. Wajah itu, Jackson merindukannya. Tapi sebisa mungkin rindu itu dia abaikan, mengingat kejadian tempo hari yang membuat dirinya hampir strees.

"Rain," panggil Jackson dengan suara dingin dan datar.

Rain meneguk ludahnya. Matanya memanas. Jari-jari Rain meremas ujung roknya. Suara itu, suara itu tidak lagi semerdu biasanya saat Jackson memanggilnya. Rain menunduk, kemudian mendongak menatap Jackson. "Iya, Pak."

Jackson melangkah menuju mejanya. Mengambil beberapa berkas yang sudah tertumpuk di atas mejanya. Kemudian, Jackson melangkah mendekati Rain, memberikan berkas itu. Dia betulan Jackson si bos perusahaan. Bukan Jaja kekasih Rain.

"Tolong selesaikan berkas-berkas itu. Kalau bisa besok pagi semua berkas itu sudah ada di atas meja saya," ujar masih datar.

Rain menerima berkas yang diberikan Jackson. Dia mengangguk. "Baik, Pak."

"Baik. Kamu boleh keluar."

Kepala Rain yang tertunduk kembali terangkat, menatap Jackson dengan sorot sendu. Tidak inginkah laki-laki itu mendengar penjelasan Rain?

Jackson mengalihkan pandangannya saat manik mata Rain tertuju ke arahnya. Sejujurnya, Jackson ingin bercengkrama dengan Rain. Bermanja ria tertawa bersama dengan perempuan itu. Tapi, status mereka bukan lagi pasangan kekasih. Mereka telah usai. Kini statusnya tak lebih dari bos dan karyawan.

"Kenapa masih disini?" pertanyaan itu berhasil meloloskan air mata yang susah payah Rain tahan.

Tanpa aba-aba, Rain memeluk tubuh Jackson. Berkas-berkas itu Rain biarkan berserakan. Berhamburan dengan gerakan slowmo berlatarkan musik sendu karena Jackson tak membalas pelukannya. Laki-laki itu hanya diam dengan air muka datar. Tubunya membeku di tempat.

"Bisa lepaskan saya?"

Rain semakin terisak. Ini menyakitkan. Rain menggelengkan kepalanya yang bersandar di dada bidang Jackson. Pelukannya semakin dia pererat.

"Ja,"

Jackson geming. Munafik kalau Jackson tidak suka dengan pelukannya ini. Dia ingin. Jackson ingin balas memeluk tubuh kecil itu. Tapi apalah daya, sesuatu di dalam sana telah menahannya untuk melakukan itu. Dia masih kecewa dengan perempuan yang kini mendekapnya erat.

"Ja, maaf. Maaf. Aku emang pelukan sama dia tapi aku nggak ciuman. Dia cuma bisikan sesuatu di telinga aku. Kamu salah liat," ujar Rain berupaya menjelaskan.

"Kenapa kamu mau dipeluk laki-laki selain saya, Rain?" tanya Jackson. Suara laki-laki itu pelan. Tidak datar. Tidak dingin.

Rain diam. Dia tidak punya alasan. Rain terlalu kalut waktu itu dan memilih memeluk Panji. "Aku--"

"Sebaiknya kamu keluar dari ruangan saya." Jackson melepas pelukan Rain pada tubuhnya secara paksa.

"Ja," lirih Rain menatap Jackson tak percaya.

"Saya tidak mau mendengar apapun lagi, Rain," tegas Jackson.

Rain menggelengkan kepalanya. "Kasih aku kesempatan kedua. Aku nggak mau kita berakhir begitu aja. Aku cinta sama kamu, Ja."

Jackson menaikkan sebelas aslinya. "Kesempatan kedua?"

Rain mengangguk. Wajah perempuan itu basah karena air mata. Menyedihkan sekali. "Kasih aku kesempatan kedua."

"Oke. Temui saya di taman hotel Medega jam 7 malam nanti."

"Hotel Medega?" tanya Rain terasa familiyar dengan nama hotel itu.

"Ya. Lewat dari pukul tujuh, kesempatan itu akan hilang."

"Bai--"

"Dan sekarang tinggalkan saya," titah Jackson.

Rain diam ditempat. Berharap ada perubahan pada otak pintar Jackson.

"Saya atau kamu yang keluar?"

"Tung--"

"Baik. Saya keluar," ujar Jackson berlalu meninggalkan Rain yang kembali tertunduk dengan air mata yang mengalir. Ini menyesakkan jenderal!

***

Jackson mengentikan langkahnya saat merasakan cairan kental keluar dari hidungnya. Jackson mengusap bawah hidungnya lalu menatap tamunya yang kembali berkunjung. Mimisan, lagi. Padahal baru malam tadi dia mimisan.

Bergegas, Jackson melangkah menuju toilet. Membersihkan darah yang mengotori hidungnya. Bagi Jackson, mimisan di usia setua ini adalah hal yang memalukan. Baginya, mimisan itu hanya untuk bocah yang suka panas-panasan di bawah terik matahari. Terkecuali jika memang mengidap penyakit tertentu. Seperti, dirinya?

Setelah membersihkan hidungnya dan mengeringkannya dengan tisu, Jackson keluar dari toilet. Sebelumnya, Jackson sempat menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel. Menatap wajahnya yang terlihat kacau. Dari luar memang terlihat baik-baik saja, tapi dibalik itu ada kekacauan hebat yang tiada orang lain tahu.

Jackson tidak baik-baik saja.

Keluar dari toilet, Jackson melangkah menuju parkiran. Niatnya ingin bertemu dengan Ramon. Namun, lagi lagi dia bertemu dengan Rain. Jackson hendak keluar, Rain hendak masuk ke daam kantor.

"Pak, hidungnya berdarah," ujar Rain ketika darah itu kembali mengalir.

Jackson mengusap bawah hidungnya. Lagi? Dia mengumpat lalu menatap Rain tajam. "Jangan pedulikan saya."






Jangan lupa votement!
Next...

JACKSON [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang