Jackson|Tiga Puluh Delapan

27 6 0
                                    

Jackson menatap pantulan dirinya di kaca. Malang,  mengenaskan, menyedihkan. Kisahnya baru saja dimulai dan berakhir dalam waktu yang singkat karena perempuan yang dia cinta berkhianat.

Jackson mencintai Rain tulus. Jackson menyayangi Rain, sangat. Tapi kenapa, apa ada yang kurang dari dirinya sehingga Rain memilih kembali pada mantannya itu. Tadi pagi mereka masih baik-baik saja. Tapi kenapa? Ada yang salah? Ada masalah? Rain tidak menceritakan apapun pada dirinya.

"Kamu--kamu menghianati saya," ujar Jackson menatap benci pantulan dirinya. Tangan Jackson yang sudah terkepal sejak tadi melayang memukul kaca hingga buku jarinya berdarah dan kaca itu pecah.

"KAMU TELAH MENGKHIANATI SAYA, RAIN! KAMU PEMBOHONG!" teriak Jackson.

Kemudian kepalanya tertunduk. Bahunya tiba-tiba bergetar. Air matanya mengalir tanpa diminta. Jackson terisak.  "Saya mencintai kamu begitu dalam, tapi kamu? Apakah kamu benar-benar mencintai saya, Rain?"

***

"Maaf. Maaf. Aku salah. Tolong kembali Ja," lirih Rain terduduk di balik pintu kamarnya.

Dia mengaku salah. Tidak seharusnya dia menerima permintaan Panji dan berpelukan dengan laki-laki itu. Rain menenggelamkan kepalanya diantara lipatan tangannya. "Tolong kembali, Ja. Aku cinta kamu," lirihnya diikuti isakan pilu.

***

Ramon berkali-kali menghela nafas. Menepuk-nepuk punggung Jackson karena laki-laki itu tak berhenti menumpahkan air matanya. Sprei putih itu sudah basah karena air mata Jackson.

Tadi niatnya Ramon datang kesini untuk mengantarkan makanan dan minuman sekalian bercerita tentang ibu dokter yang dia temui beberapa hari yang lalu. Namun, kedatangannya malah disambut dengan Jackson yang tidak baik-baik saja. Laki-laki itu menempelkan dahinya di sisi ranjang dengan bahu yang tampak bergetar. Tangannya juga berdarah.

"Udahlah, Ja. Berhenti buang air mata lo," ujar Ramon.

"Lo nggak tau sesakit apa ngeliat pacar lo ciuman sama laki-laki lain. Katanya dia benci sama mantannya, tapi apa? Dia bohong, Mon," ujar Jackson dengan suara serak.

"Lo boleh anggap sikap gue terlalu berlebihan. Tapi emang ini yang gue rasain. Gue sangat sangat mencintai dia, Ramon. Gue langsung sakit ngeliat dia romantisan di parkiran. Di depan mata gue."

Ramon menggaruk keningnya. Tidak tauu harus berbuat apa. "Apa nggak sebaiknya lo dengerin dulu penjelasan dia, Ja. Mungkin lo salah paham."

Jackson menoleh ke arah Ramon. "Salah paham? Apanya salah?"

"Mungkin apa yang lo liat salah," ujar Ramon menyandarkan punggungnya di sisi ranjang.

Jackson mengangkat sebelah alisnya. Air mata yang masih membasahi wajah dan matanya dia hapus secara kasar. Jackson ikut menyandarkan punggungnya pada sisi ranjang. Menekuk kedua kakinya ke atas.

"Lo nggak bakal tau karena lo nggak liat langsung gimana dia nerima ciuman mantannya itu. Dan pelukan." serak Jackson menatap kosong ke depan.

Ramon menghela nafas. Sakit hatinya manusia bucin parah jug ternyata. Ramon menoleh, meletakkan sebelah tangannya di bahu Jackson. "Gini aja. Lo temuin dia dan dengerin dia mau ngomong apa."

Jackson menatap Ramon dengan dahi berkerut tajam. "Nggak! Buang-buang waktu gue nemuin cewek itu. Lagian gue udah minta break."

Ramon melotot karena terkejut. "Wah, break? Parah lo, Ja."

"Itu yang terbaik. Gue nggak suka ngejalanin hubungan yang nggak pasti."

Ramon menepuk jidatnya sembari geleng-geleng kepala. "Aduh, Ja, Ja. Lo mikir dulu nggak sih sebelum bilang break?"

JACKSON [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang