"Rainnya mana, Ki?" tanya Ria saat Jackson menginjak ruang makan dan tidak menemukan keberadaan Rain. Padahal tadi pagi dia sudah mengatakan pada Jackson agar membawanya mampir sebentar.
Jackson mengambil air dingin dari dalam kulkas. Setelah meneguknya hingga tandas, barulah Jackson menjawab pertanyaan mamanya. "Dia nggak bisa kesini. Ada urusan keluarga katanya," bohong Jackson.
Ria mendesah kecewa," Yah, padahal mama pengen banget ketemu sama dia."
"Kapan-kapan Rain bakal main kesini kok, mama tenang aja," ujar Jackson berharap Ria tidak terlalu kecewa karena dirinya tak membawa Rain kerumah.
Ria hanya membalas dengan anggukan lalu kembali ke dapur untuk melihat sayuran yang dia masak. Apakah sudah matang atau belum.
Sementara Jackson, laki-laki itu memilih duduk di kursi. Dia menghela nafas, lalu memijat pelipisnya. Kepalanya terasa pening. Hari-harinya tidak terlalu berat, tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia sering diserang sakit kepala.
Jackson mengusap rambutnya dan menemukan helaian rambut menempel di telapak tangannya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini tidak terlalu mengejutkan, karena memang sepatutnya Jackson mengalami hal ini.
Jackson tersenyum miris. Apakah sisa hidup dua bulan itu memang berlaku untuknya? Apakah ucapan para manusia berseragam putih itu akan terwujud? Apakah dia akan benar-benar pergi? Untuk selamanya? Jackson butuh jawaban.
Memang, ucapan dokter itu tidak seharusnya kita percaya. Pada hakekatnya, rezeki, jodoh dan maut itu hanya Tuhan yang tau. Sekalipun para medis mengatakan Jackson akan mati besok tapi jika Tuhan belum berkehendak, maka Jackson tidak akan mati. Dengan kata-kata itulah, Ramon selalu menyemangati Jackson jika laki-laki itu terpuruk dan kembali putus asa dengan hidupnya.
Namun, sebanyak apapun usaha Jackson untuk bangkit, ucapan dokter itu benar-benar ampuh mematahkan semangatnya untuk hidup. Dia benar-benar menyerah. Pasrah jika nyawanya benar-benar akan pergi dalam waktu dua bulan ini.
Disaat sibuk bergelut dengan harapan hidup, Jackson malah teringat dengan Rain. Perempuan yang menemaninya belakangan ini dengan status pacar pura-pura. Mungkin status itu akan berganti menjadi istri pura-pura mengingat keluarganya sangat berharap pada perempuan itu. Contohnya saja Ria. Mamanya itu selalu menanyakan kabar Rain, kapan Rain akan main kerumah dan kapan Jackson akan melamar Rain. Sejauh ini, Jackson tidak kepikiran untuk menyematkan cincin dijari manis perempuan itu.
Bahkan Jackson sendiri heran dengan perasaannya. Jantungnya selalu berdebar-debar jika sudah berduaan dengan Rain. Desiran aneh itu juga kerap muncul jika Jackson mulai memikirkan perempuan itu. Senyumnya, wajahnya dan ketulusan Rain dalam melakukan sesuatu. Seperti, membantunya untuk bangkit dengan cara mengantar Jackson kerumah sakit dan mengingatkan dirinya untuk minum obat.
Mengingat itu, Jackson jadi tersenyum sendiri. Entah kenapa, dia jadi ingin bertemu dengan Rain. Padahal baru bertemu tadi siang.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Suara Sutra menarik Jackson kembali pada dunia nyata. Senyum yang jarang muncul itu seketika lenyap berganti wajah datar andalannya.
"Kenapa lo masih disini?" tanya Jackson. Acara tunangan tapi bukan tunangan itu telah lama usai. Kenapa Sutra belum kembali ke Jerman?
"Emang kenapa? Nggak suka lo kalau gue ada disini?" Sutra balik bertanya sambil meletakkan barang belanjaannya diatas meja.
Jackson berdecak kemudian bangkit tanpa menjawab pertanyaan Sutra. Sebelum pergi, dia mengambil satu bungkus kripik kentang dan satu kotak susu kemasan yang dibeli Sutra. Setelahnya dia melesat meninggalkan ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JACKSON [SELESAI]
Fanfiction[Follow akun ini biar kita saling kenal] [Don't copy my story! Asal lo tau, mikirin ide sama alur ini cerita lebih susah dari rumus percintaan] Jackson, bos perusahaan di tempat Rain bekerja memintanya untuk menjadi pacar pura-pura saat menghadiri...