Selesai mengantarkan Rain pulang, Jackson mampir ke supermarket sebentar untuk membeli beberapa cemilan dan minuman. Namun, karena Ramon juga ada disana, jadilah mereka duduk sebentar dan berbicara sedikit. Ya sedikit, akibat pembicaraan yang sedikit itu, Jackson baru sampai dirumah pukul setengah dua belas malam.
Jackson menghela nafas, kemudian membuka pintu utama yang entah kenapa tidak terkunci. Biasanya, semua pintu akan dikunci pukul sebelas malam. Mungkin, mamanya lupa.
Kepulangan Jackson disambut dengan kumpulan keluarga besarnya yang sedang bercengkrama diruang keluarga. Mama, papa, om, tante, bahkan sepupunya juga ada. Mereka bersenda gurau tanpa tau ini sudah jam berapa.
"Baru pulang, Ki?" tanya Ria-mama Jackson.
Jackson menoleh lalu menghela nafas. Ia melangkah mendekati keluarganya yang masih sibuk berbicara. Entah apa yang dibahas, itu terlihat menarik. Tapi tidak di mata Jackson.
"Ada acara apa?" tanya Jackson. Tentu dia heran dengan kehadiran keluarga besarnya. Om dan Tantenya yang berada di Amerika juga pulang. Sepupunya yang kuliah di Jerman juga ada. Sepenting apa acara ini sampai mereka rela terbang dan meninggalkan aktivitas mereka. Bahkan Jackson yang tinggal di rumah ini saja tidak tahu apa-apa.
Ria tersenyum, meletakkan tangannya di bahu putra semata wayangnya. Mata sendunya menatap wajah lelah Jackson. Padahal, kalau dilihat-lihat, kerjaan Jackson di kantor cuma duduk manja doang. Mungkin itu wajah lelah Jackson karena terlalu sibuk mencari wanita yang mau diajak jadi pacar pura-puranya.
"Tadi kita semua habis musyawarah," ujar Ria membuat Jackson mengangkat sebelah alisnya.
"Musyawarah ngapain?"
"Ngomongin acara pertunangan kamu sama Lisa Manoban anaknya Pak Bambang," sahut Sutra-sepupu Jackson yang berada di Jerman.
"Pertunangan?"
Ria mengangguk mantap. "Acara pertunangannya akan di adakan besok malam. Jadi kamu harus siap-siap. Besok siang kita ke butik buat beli baju."
"Nggak usah nolak, Ki. Undangannya udah kesebar. Tamunya orang penting semua. Ada Reano, Galaksi dan kawan-kawan, Selatan, Razella, Jaemin, Jeha, Aksa, Akbar, Messi, Rosi, Bambang Pamungkas, Marquez, Antariksa dan kawan-kawan, Dewa, Vanilla, Melody, Bintang Emon, Ronaldowati, Atta Halilintar, Pak Jokowi, Anya Geraldine dan masih banyak lagi," jelas Sutra panjang lebar. Ini mau acara tunangan atau mau tawuran?Banyak bener tamunya. Ngomong-ngomong, keluarga Jackson memanggilnya Jaki. Entah dapat motivasi dari mana, Jackson juga tidak tahu. Dia terlalu malas membahas hal tidak berguna seperti itu.
"Nggak sekalian ibu Susi biar acara tunangan gue ditenggelamkan?" cibir Jackson. Sepertinya mereka terlalu niat mengundang. Kenapa tidak seindonesia saja yang diundang? Biar rame. Lagipula, Jackson tidak mengenal nama-nama yang disebutkan Sutra. Dia hanya kenal dengan Rosi dan Bambang Pamungkas. Itupun tahu dari acara televisi.
Sutra menggaruk tengkuknya yang tak gatal kemudian menunjukkan cengiran khasnya. Jackson hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kembali menatap Ria, "Jaja nggak setuju sama pertuangan ini, Ma," ujar Jackson lembut. Jaja adalah panggilan Jackson untuk dirinya sendiri. Karena dia tidak terlalu suka memakai kata aku atau gue.
"Kenapa? Lisa itu cantik loh orangnya, dia juga baik."
"Jaja cuma mau menikah sama orang pilihan Jaja." Jackson paling membenci perjodohan. Karena menurutnya, pernikahan yang dilandasi dengan perjodohan tidak akan bertahan dalam waktu yang lama. Mereka menikah bukan karena suka saling suka ataupun cinta saling cinta melainkan karena paksaan. Palingan, usia pernikahan yang terkait dengan perjodohan hanya bertahan selama beberapa bulan saja.
"Kamu tidak bisa menolak, Jackson!" tegas Abraham, ayahnya. Pria paruh baya itu bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Jackson dan Ria.
"Kamu tidak bisa menolak perjodohan ini! Dua ribu undangan sudah tersebar, Ki. Kalau ini dibatalkan begitu saja, mau di taroh di mana muka papa nanti?"
"Tapi Jaja nggak bisa menerima perjodohan ini, pa." Jackson masih berusaha menolak.
"Apa alasan kamu menolak perjodohanmu dengan Lisa?"
"Karena Jaja sudah memiliki pilihan Jaja sendiri."
***
Rain melangkah menuju dapur. Membuka kulkas dan meraih sekaleng minuman. Ia menghela nafas, kemudian mendudukkan tubuhnya di kursi di ruang meja makan. Pikirannya kembali berkelana pada kejadian saat dirinya dan Jackson berada di depan gerobak nasi goreng. Pertanyaan laki-laki itu masih membayang-bayangi Rain hingga saat ini. Dan jawaban yang keluar dari mulutnya membuat Rain bingung setengah mati. Apakah ia mengambil keputusan yang tepat atau malah ini adalah keputusan yang salah dan berakhir dengan mala petaka?
Rain menghela napas gusar, menatap kaleng soda yang ada di genggamannya. Matanya tak sengaja menangkap cincin perpisahan yang di berikan Panji. Ternyata cincin itu masih tersemat di jari manisnya. Dan karena cincin sialan itu, ia kembali teringat dengan Panji.
"Kenapa lo tega, Nji?" tanya Rain pada cincin itu.
"Kenapa lo tega mutusin gue? Salah gue apa? Kurang apalagi gue selama tiga tahun ini?" Rain melepas cincin berlian itu dari jarinya. Mengangkat cincin itu hingga sejajar dengan wajahnya. Ia menatapnya lekat sebelum akhirnya cincin itu ia lempar ke luar jendela yang kebetulan terbuka. Semoga dengan di buangnya cincin itu, kenangan pahit yang diberikan Panji juga ikut terbuang.
Seharusnya Rain tidak perlu galau karena laki-laki itu, yang seharusnya Rain rasakan saat ini adalah kebahagiaan. Karena dirinya telah terbebas dari laki-laki yang selalu menyakitinya.
Tidak ingin berlama-lama di ruang makan, Rain memutuskan untuk kembali ke kamar. Mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah dan letih menghadapi kenyataan yang selalu lupa di beri gula.
Rain merebahkan tubuhnya di ranjang. Membuka ponselnya sebentar untuk mengaktifkan alarm. Jujur, Rain sulit bangun pagi tanpa bantuan alarm.
Kling!
Sebuah notifikasi dari nomor tidak di kenal masuk, membuat Rain mengeryit heran.
+628xxxxxxxx
Cafe orange, jam sembilan pagi, ada hal penting yang perlu dibicarakan
Siapa? Panjikah? Atau orang yang tidak ada kerjaan? Rain mengedikkan bahunya acuh dan mulai memejamkan matanya. Sungguh, ia sangat butuh istirahat.
***
Apa itu karena Rain tidur terlalu larut atau memang telinganya yang tidak peka dengan bunyi alarm, Rain juga tidak tahu. Yang jelas, ia bangun dua jam lebih lama dari alarm yang ia setel.
Dengan terburu-buru Rain berlari menuju kamar mandi yang terletak di samping dapur. Maklum, kontrakan kecil ini selalu merepotkannya.
Satu langkah lagi, Rain akan menginjak lantai kamar mandi. Namun, suara teriakan seseorang mengharuskan langkahnya berhenti di depan kamar mandi.
"Permisi!"
Rain mendengus, pagi-pagi sudah menganggu ketenangan orang. Kalau paginya begini, malamnya mau jadi apa? Kelelawar?
Apaan dah, Rain? Ngawur!
"Iya, ada apa ya Mas pagi-pagi udah gangguin saya?" tanya Rain saat pintu terbuka. Matanya yang masih tanggung-tanggung terbuka tidak dapat melihat dengan jelas siapa lawan bicaranya.
"Cepat mandi! Saya tunggu dalam waktu lima menit!"
Seketika Rain membuka matanya lebar-lebar. Suara itu terdengar sangat familiyar. Perasaan baru tadi malam Rain memikirkan laki-laki itu eh paginya udah nongol.
"Mau mandi sendiri atau saya mandikan?"
Rain menggeleng kuat, menutup pintu dengan kasar kemudian berlari menuju kamar mandi. Tidak mempedulikan tamunya.
Sekarang Rain merasa malu mengingat saat menemui tamunya ia hanya menggunakan hotpants dan tangtop.
Jangan lupa vote ya!
Next~~
KAMU SEDANG MEMBACA
JACKSON [SELESAI]
Fanfiction[Follow akun ini biar kita saling kenal] [Don't copy my story! Asal lo tau, mikirin ide sama alur ini cerita lebih susah dari rumus percintaan] Jackson, bos perusahaan di tempat Rain bekerja memintanya untuk menjadi pacar pura-pura saat menghadiri...