Rain beranjak bangkit dari tempatnya saat melihat Ramon ikut berlari mengejar Jackson. Namun, pergelangan tangannya malah ditahan Panji.
"Duduk," bisiknya tajam.
Rain menyentak kuat tangannya sehingga pergelangan tangannya terbebas dari belenggu Panji. Dia tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi karena menuruti Panji yang egois. Kali ini Rain tidak akan membiarkan dirinya salah langkah lagi. Jujur Rain khawatir dengan Jackson. Laki-laki itu sudah terlalu sering mimisan. Rain tak ingin hal yang tidak diinginkan terjadi dan membuatnya menyesal seumur hidup. Tanpa berkata apapun lagi, Rain berlari meninggalkan aula. Tak peduli dengan teriakan Panji dan wajah kaget Riya.
***
Jackson menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Dia menghela nafas lelah. Rumah masih sepi, kedua orang tuanya dan Sutra masih sibuk di gedung. Mengurus acara pernikahan yang sudah kacau.
Ding dong!
Jackson menatap ke arah pintu rumahnya yang tertutup rapat. Suara bel di pencet berbunyi sekali lagi membuatnya berdecak dan memilih bangkit. Dia malas sekali menerima tamu. Apalagi tamunya teman-teman Riya dan Abraham.
"Maaf, mama nggak dirumah, ada perlu apa ya?" tanya Jackson setelah membuka pintu dan tak menatap tamunya.
"Ja,"
Jackson terdorong ke belakang kala tamunya memeluk Jackson begitu saja. Laki-laki yang masih mengenakan setelan jas itu menunduk, menatap Rain yang menangis di dada bidangnya. Pelukan perempuan itu juga dipererat, seakan tak membiarkan Jackson lepas dari dekapannya.
"Kamu, lepas," titah Jackson dingin, namun tak berusaha untuk melepaskan tubuhnya dari pelukan Rain.
Rain menggeleng. "Aku kangen kamu, Ja. Kamu baik-baik aja kan? Tadi aku liat kamu mimisan."
Jackson terkekeh sinis. Sekarangpun darah itu kembali turun. Kepalanya sudah terlalu pusing, ingin meledak rasanya. "Peduli apa kamu?"
"Ja! Aku tuh cinta sama kamu. Aku khawatir sama kamu. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Aku peduli sama kamu!"
Jackson mengusap cairan merah yang mengotori hidungnya. Kemudian menjauhkan tubuh Rain dari tubuhnya secara kasar. "Berhenti beromong kosong, Rain."
Air mata Rain turun deras. Dia selalu merasa sakit kala Jackson berkata demikian padanya. Rasa yang masih ada menyiksa batin Rain. Dirinya tak sanggup menghadapi Jackson yang dingin seperti ini. Rain rindu Jackson yang dulu. Jackson yang manis, Jackson yang murah senyum, Jackson yang jauh berbeda dengan Jackson yang sekarang.
"Kenapa sih kamu jadi gini? Sebesar itu kesalahan aku sampai-sampai kamu berubah dingin kayak gini. Kasih tau aku, apa yang harus aku lakuin supaya kamu nggak kayak gini. Aku mau kamu yang dulu, Ja!"
"Saya tidak berubah. Saya masih Jackson." Jackson menatap Rain datar.
Rain menggeleng. "Kamu berubah. Kamu bukan Jackson yang aku kenal."
"Untuk apa saya menjadi Jackson yang kamu kenal, sedangkan kamu memilih hidup bersama laki-laki lain?" tanya Jackson dengan sorot mata berubah tajam.
Rain menunduk. Pembahasan mereka selalu merujuk pada kesalahan Rain. Iya, Rain salah karena telah meninggalkan Jackson dan memilih Panji. Tapi itu dia lakukan juga karena terpaksa. Kalau saja Panji tidak mengancam akan membahayakan Jaya dan Jackson, dia tidak akan menuruti kemauan laki-laki itu. Rain melakukan ini demi Jackson dan Jaya. Secara tidak langsung Rain sudah melindungi laki-laki itu dan seharusnya dia paham.
"Aku ngelakuin ini bukan karena kemauan aku, Ja. Aku terpaksa, diancam. Seharusnya kamu paham sama keadaan aku. Kamu nggak perlu terus-terus nyalahin aku karena aku udah sadar sama kesalahan aku sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
JACKSON [SELESAI]
Fanfiction[Follow akun ini biar kita saling kenal] [Don't copy my story! Asal lo tau, mikirin ide sama alur ini cerita lebih susah dari rumus percintaan] Jackson, bos perusahaan di tempat Rain bekerja memintanya untuk menjadi pacar pura-pura saat menghadiri...