Hello pembaca ...
Agak kaget pas mau update ngeliat jumlah pembaca chapter sebelumnya jauh lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Aku terharu ...
Peluk cium dunia maya ... Selamat membaca.
***
Buat apa susah payah berusaha menghindarinya seharian kalau ujungnya malah berakhir berduaan di dalam mobil. Meski berkali-kali aku menolak, dia tetap bersikeras ingin mengantarku. Maka di sinilah kami, berdua berkendara menuju mall tempat aku dan Amara janjian. Suasana canggung meliputi kami persis seperti saat pertama kali aku duduk berdua dengannya di sini sewaktu mengantarku ke Nuansa dulu.
Canggungnya tetap sama, tapi kali ini lebih menyiksa.
Berbagai pikiran bercokol dalam kepalaku, sebagian berisi asumsi dan sisanya terkhianati. Marah, kecewa, malu dan perasaan lainnya bercampur aduk membuatku gundah. Maka jalan satu-satunya adalah menghindari si biang masalah, Pak Angga.
Malu, itulah perasaan yang paling mendominasi saat ini. Aku mengaku kalah, logikaku tidak mampu menjaga hatiku tetap utuh seperti sediakala. Nyatanya tanpa sadar aku telah jatuh cinta pada pria yang sosoknya tidak nyata. Gilanya, lelaki itu adalah dosen yang kukenal. Sahabat Chandra sekaligus dosen pembimbing proyekku. Padahal punya hubungan dekat dengan dosen tidak pernah ada dalam algoritma hidupku. Bahkan dengan pak Fadil sekalipun aku tidak pernah berpikir untuk memiliki hubungan lebih dari sekedar dosen dan mahasiswa, never.
Sama halnya tidak pernah ada sejarahnya virus komputer menyerang manusia. Tidak akan pernah. Oh, sudah berapa kali aku mengatakan tidak pernah? Lihatlah, pikiranku saja sudah tidak bisa lagi menciptakan kosakata kreatif lainnya.
Selain malu aku juga merasa tolol. Bagaimana mungkin selama ini tidak sadar kalau mas bro dan pria di sebelahku adalah orang yang sama. Ketika kuingat-ingat dulu di awal kami chattingan, nomor asing itu pernah mengirimiku pesan yang isinya 'Saya terlambat siang ini, ada urusan darurat. Infokan ke yang lain ya'. Siangnya kami bertiga janjian diskusi proyek di Prolog bersama pak Angga, ketika itu di hadapan kami beliau mengatakan kalau keterlambatannya telah diinfokan padaku. Seharusnya dari situ aku tahu nomor itu adalah miliknya. Kenapa aku bodoh sekali.
Mobil melaju membelah jalanan kota yang ramai pengendara. Meskipun sudah malam namun jalanan semakin ramai dengan hiruk pikuk ditambah beberapa pedagang gerobakan telah berjejer di pinggir jalan, terasa menyesakkan.
Tanganku menggenggam ponsel namun karena tak ada suara notifikasi apapun tidak memungkinkan untuk berpura-pura memainkannya. Alhasil pandangan kuarahkan keluar jendela, mencoba fokus pada lampu jalan yang membosankan.
"Kamu menghindari saya?"
Pertanyaannya langsung mengena ke ulu hati, seperti ditinju di pusat nyeri. Jadi dia sadar aku menghindarinya sejak siang tadi.
"Tidak, Pak." Balasku singkat. Bagaimanapun perasaanku, dia tetap dosen yang harus kuhormati, tidak mungkin mendiamkannya. Urusan bohong itu belakangan, yang penting etika harus tetap dijaga.
"Chat saya tidak dibalas, panggilan saya tidak dijawab. Kalau bukan menghindar lantas artinya apa?" ini sulitnya berurusan dengan orang cerdas. Dosen pula. Saat otaknya digunakan untuk membalas ucapanku, habislah aku.
"Saya sibuk, Pak."
"Hari ini kamu hanya ada satu mata kuliah, kelas pagi lalu dilanjut dengan praktikum sampai jam 1 siang, setelahnya kosong. Setahu saya kamu juga tidak masuk kantor sore tadi. Jadi bagian mananya yang bikin kamu sesibuk itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDA SEGMEN
ChickLitStatusnya sebagai mahasiswi jurusan Teknik Informatika, membuat Hana terbiasa berpikir logis dan runut. Bukan sentimen seperti kebanyakan gadis alay. Hana percaya seperti halnya pembuatan program komputer, cinta pun akan ada trial dan errornya. Han...