32 - Compatible

20.9K 2.9K 85
                                    

Dulu ekspektasiku gak begitu tinggi akan cerita ini, aku nulis untuk diriku sendiri. Untuk sarana belajar. Dibaca atau tidak, itu urusan kesekian.

Tapi di perjalanan, sambutan kalian yg luar biasa bikin aku ingin menggali potensi lebih jauh, merevisi berkali² sebelum publish, belajar ulang PUEBI supaya tulisanku lebih baik lagi.

Terima kasih,

Selamat membaca...
❤❤❤

***

Kami memasuki fase 'Kecanggungan Sosial Stadium Akut'.

Ralat, bukan kami. Hanya aku. Karena pihak lain dalam kata 'kami' tersebut nggak merasakan hal yang sama. Dia bersikap biasa saja, aku yang kelimpungan menghadapinya.

Sudah seminggu lebih hubungan kami berstatus baru, tapi bukan berarti aku sudah terbiasa menghadapinya. Berada di sekitarnya masih terasa bagai mimpi, kadang bahkan aku ragu ini nyata. He's so dreamy, too good to be mine.

Dia nggak menginap di apartment Chandra lagi – yang mana sangat kusyukuri. Tapi sebagai gantinya dia sering mampir nggak kenal waktu. Kadang datang terlalu pagi saat aku sedang memasak sarapan, kadang datang terlalu malam saat aku dan Chandra akan tidur. Alasan kedatangannya selalu beragam dan anehnya Chandra percaya.

Saat dia menatapku aku menghindari tatapannya. Saat dia bicara padaku, aku menjawab tanpa memandangnya. Jika kami sedang berdua, aku lebih banyak diam. Di dekatnya aku merasa gugup, detak jantungku nggak mampu dikendalikan. Itu bahaya, keberadaannya mampu menurunkan kapasitas processor dalam kepalaku.

Tapi sejauh ini kami lebih sering bertemu di tempat Chandra.

Pernah waktu itu aku dan Chandra duduk berdua di sofa menonton film horror, dia datang tanpa pemberitahuan. Tahu-tahu sudah nongol begitu saja di dekat kami. Aku yang pertama menyadari kehadirannya menjerit dan teriakanku membuat Chandra ikutan berteriak. Dan dia ... hanya tersenyum geli melihat tingkah kami.

Tanpa ijin, dia duduk di sampingku sehingga posisiku berada di antara dirinya dan Chandra. Aku mencoba duduk menjauh tapi dengan berani dia menggenggam tanganku seolah tidak mempedulikan kehadiran Chandra. Jantungku hampir meledak saat itu, pertama karena filmnya, kedua karena tangannya, ketiga karena takut ketahuan Chandra. Meskipun akhirnya dia ijin pulang namun pria itu sempat-sempatnya mencuri satu kecupan di keningku. Kaum terpelajar yang kurang ajar.

Tapi aku suka.

Agresif dan perayu ulung. Dua sifat itu baru kutahu selama hampir sepuluh hari ini berstatus sebagai pacarnya. Tak henti-hentinya mengirimiku chat sepanjang hari dan malam, kalau aku nggak membalas chatnya dalam waktu sepuluh menit, dia akan langsung menelpon. Kadang aku heran, apa dia sebenarnya pengangguran?

Semakin kesini, semakin sering merayuku. Gombalan halusnya sering membuatku merona dan katanya dia suka sekali melihat pipiku memerah. Aku malu, tapi dia tidak peduli bahkan sengaja makin menggodaku.

Ternyata begini rasanya berpacaran dengan pria matang.

Dulu sewaktu aku SMA, status pacaran bagiku hanya unyu-unyuan doang. Yang kami lakukan hanyalah makan bareng di kantin, berangkat bareng ke pusat bimbingan belajar. Itu saja. Aku nggak pernah diantar pulang atau dijemput sekolah atau diapelin ke rumah, takut ketahuan mama papa.

Yang pernah kulakukan hanyalah sebatas berpegangan tangan, tidak pernah lebih. Dua kali menjalin hubungan, mantanku dulu adalah cowok seumuran dan kakak kelas satu tingkat di atasku. Keduanya sama, tipikal anak SMA yang masih malu-malu.

Kini berbeda. Pria satu ini sangat berbahaya.

Urusan dengan Chandra aku serahkan saja padanya. Walau bagaimanapun Chandra harus tahu hubungan kami, begitu katanya. Niatnya bolehlah aku acungi jempol, tinggal sekarang aku melihat bagaimana caranya dia memberitahu Chandra. Sebab aku pernah janji pada omku itu, bahwa kelak jika aku punya pacar dia adalah orang pertama yang kuberi tahu. Sekalian aku mau pembuktian keberanian dan kesungguhan Pak Angga. Wajar kan?

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang