36 - Permission

21.9K 2.7K 201
                                    

Selamat berpuasa bagi reader yang menjalankan.

Tenang aja, chapter ini aman kok dibaca saat puasa, mueheheheh...

Chapter selanjutnya nggak tau deh ya.

❤❤❤

***

Angga

Slice.

Ah, sial. Bolaku melenceng jauh ke kanan. Entah kenapa sejak tee off tadi pukulanku tidak becus. Sudah lima hole kami lewati dan aku belum memperoleh poin par sekalipun. Mendadak aku terlihat seperti pemula. Mengayunkan club di lapangan hijau memang bukan favoritku tapi biasanya performaku tidak seburuk ini juga.

Berbeda dengan pria yang menjadi rekanku pagi ini. Bapak Amrizal Taher. Calon mertuaku – kalau boleh kusebut begitu. Dia memposisikan dirinya dan siap memukul bola. Ayunannya terlihat mantap dan benar saja, bolanya melambung tinggi menuju green. Pukulan yang bagus, harus kuakui.

Keahlianku bermain golf agak sedikit di bawah Bagas, tapi setiap kali kami turun ke lapangan setidaknya aku tidak kehilangan terlalu banyak uang. Tapi kali ini aku kalah di setiap hole, bahkan Caddie-ku pun sudah bosan memberi saran club nomor berapa yang semestinya kupakai, karena aku selalu mengabaikannya.

Aku tahu betul apa penyebab hancurnya pukulanku. Bukan salah pilih club, melainkan ...

Gugup.

Tadi malam, Bagas mengajakku driving di salah satu driving range langganannya. Hana sedang mempersiapkan diri untuk UTS yang akan berlangsung Senin besok, jadi ya terpaksa malam Minggu menghabiskan waktu berdua bersama Bagas.

Sesampainya di sana, aku bertemu dengan ayah Hana yang juga sedang bermain bersama beberapa orang rekan kerjanya. Untungnya, beliau masih mengenaliku walau aku hanya mampir ke rumahnya satu kali saat malam kami kecelakaan itu.

Setelah basa basi dan mengobrol singkat, aku memberanikan diri mengambil kesempatan. Mengajak beliau main golf bersama denganku pagi ini. Dan ini lah kami, Pak Amrizal dengan permainannya yang stabil sejak hole pertama, dan aku dengan lambungan bola entah kemana-mana. Dia selalu mendapatkan par ditiap hole, sementara aku harus puas dengan bogey. Ini memalukan.

Well, tidak bisa terus begini. Strategiku adalah mengambil hatinya dengan permainan golfku, bukannya malah mempermalukan diri sendiri.

Pak Amrizal terkekeh melihat Caddie-ku yang sibuk berlari mencari lokasi jatuhnya bola sambil membawa-bawa tas berisi set golfku.

"Pukulan kamu tadi malam bagus," komentarnya singkat. Jelas sekali beliau bermaksud menyindir pukulanku yang awut-awutan pagi ini.

"Ada yang sedang saya pikirkan, Pak," belaku.

Beliau tertawa lagi, "Pukulan saat bermain golf sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita bisa memusatkan konsentrasi pada bola. Selagi kamu memikirkan hal lain, sepertinya delapan belas hole bisa-bisa selesai lewat tengah hari."

"Singkirkan dulu apapun yang kamu pikirkan, kalau tidak bisa ya dibicarakan saja. Kalau begini terus kita harus pasang taruhan biar saya untung banyak. Lumayan kan," kekehnya lagi.

"Ada yang perlu saya sampaikan ke Bapak," sahutku. Dibicarakan, katanya. Maka apalagi yang kutunggu selain memulainya.

"Oh ya, apa itu?"

"Sebelumnya saya minta maaf baru bisa mengatakan ini sekarang," aku sengaja menjeda sambil memperhatikan raut wajahnya dan menyiapkan mentalku. Aku mengambil napas.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang