2 - Semua berawal di Prolog

31.8K 3.8K 156
                                    

Selamat membaca,

Tolong tandai kalau ada kejanggalan dan kesalahan ya...

Bab 2

"Chandra ini om saya, Pak."

Ketiga pria ini menatapku bingung, sementara Chandra sibuk melihat kesana kemari memperhatikan pelanggan cafenya.

"Iya, adik mama saya," ucapku meyakinkan.

"Ini bocah gimana di kampus? Macem-macem gak dia?"

Eh buset, mulut Chandra bener-bener ya. Maksudnya apa nanya begitu?

"Sembarangan! Pertanyaannya jangan diselimuti tuduhan gitu dong?" jawabku tak suka. Sekarang wajah dan tubuhku sepenuhnya menoleh ke Chandra, bersiap menangkis apapun keisengannya setelah ini.

Om-ku ini kadar keisengannya sudah akut. Dia tahu persis aku penggeli, dan tangan jahilnya sering mampir menggelitik pinggang membuatku menjerit histeris. Pernah satu kali ketika acara keluarga, aku diminta salah satu tante untuk menyanyikan sebuah lagu. Dengan pede aku tampil ke depan merasa suaraku nggak buruk-buruk amat. Sambil menggendong gitar aku mulai bernyanyi, diiringi tepukan tangan keluarga besar. Ketika akan mencapai bagian refrain dan penonton yang mulai menghayati, Chandra yang saat itu duduk tepat di sebelahku menusukkan telunjuknya pas di pinggang. Alhasil bukannya nyanyian, malah pekikan yang muncul.

Kontan saja peristiwa itu membuat seluruh hadirin tertawa terbahak. Menertawakanku. Bahkan mama yang harusnya marah melihat putrinya dijahili ikut tertawa. Malu aku. Itu yang di depan umum, belum lagi kalau dia main ke rumah, bukan cuma pinggang tapi ketiak ku pun tak akan lepas dari gelitikannya. Makanya kalau ada Chandra, waspada jadi wajib hukumnya.

Mendadak tangan besar melingkupi wajahku, tangan Chandra. "Gue nggak ngomong sama lo, bocah!" double sialan ini orang.

Dengan kasar, kutepis tangannya. Kutatap dia sengit namun sama sekali tak berpengaruh. Cih.

Tahan Nana, tahan. Ingat sopan santun.

Kutarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. Chandra tak semudah itu dilawan.

"Yang waras ngalah. Yang waras ngalah!" ucapku pelan namun aku yakin pak Bagas yang di ujung sana mendengar sebab saat ini dia tersenyum simpul.

Bagus, sekarang bahkan aku jadi bahan lelucon bapak-bapak ini.

"Yang waras ngalah, yang waras ngalah" ucap Chandra meniruku dengan suara cempreng dan bibir mencebik mencemooh.

Sumpah ya ini orang, suaraku nggak begitu.

"Bisa diem nggak Chan!"

"Bisa diem nggak Chan!" selorohnya lagi, dan pak Fadil dan bapak ganteng ikutan mengulum senyum. Cih.

Aku pejamkan mata sesaat, tarik napas, hembuskan. Hana, jangan sampai kamu kalah di pertarungan ini.

Kutatap lekat matanya.

"Padahariminggukuturutayahkekotanaikdelmanistimewakududukdimukakududuksampingpakkusirgantengyangsedangbekerjamengendalikudasamamantannya," ucapku dalam satu tarikan nafas.

Chandra terdiam. Ketiga orang lainnya menyemburkan tawa.

Nah, senyum jumawaku muncul. Alisku terangkat naik, "Ayo ulangi," kataku sambil melipat dada pongah. 1 - 0. Hana dilawan.

"Udah selesai kan?" oh strategi mengalihkan topik. Lawan sudah tersudut!

"Hmm."

"Sana langsung pulang."

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang