48 - Wallpaper

13.9K 1.7K 153
                                    



"Jawabannya sederhana tau, Beb. Kalo airmata masih menetes saat mengingat dia, artinya dia masih segalanya. Bukan begitu?"

"Bibir lo bisa bungkam, tapi mata lo sudah mewakili jawabannya. Sekarang semuanya kembali ke lo lagi, mau dibawa kemana kisah kalian ini."

Kata-kata Amara menghujam tepat sasaran, ke sudut sanubariku yang paling dalam. Kalimat sederhananya mampu membuat airmataku menderas. Sialan Amara dan ucapannya. Kenapa semuanya terasa benar justru di waktu yang salah? Saat semuanya sudah terlambat.

Kepalaku menunduk semakin dalam, nggak sanggup lagi mengangkat wajah. Amara mendekat lalu memelukku erat. Sambil menepuk punggungku, dia berkata, "Nangis aja, gak apapa. Tapi jangan terus-terusan ya. Lo temen gue yang paling kuat, si paling jarang nangis. Tapi sambil lo nangis, coba pikirin baik-baik ucapan gue."

"Ck ck, kalian ini. Kayak nggak bakalan ketemu lagi aja. Nangisnya sampai begitu banget." Aura sendu mendadak berubah karena kedatangan si perusak suasana. "Kalo kangen ya tinggal telpon, jaman udah canggih. Nggak usah drama," lanjutnya.

Amara terkikik mendengarnya, sementara aku mendengus.

"Om lo lucu banget," Amara berbisik genit di telingaku.

"Inget, udah punya laki." Aku membalas sambil menghapus airmata yang masih menyisa. Sementara Amara masih tetap terkekeh.

"Ayo pulang, ditungguin lama bener. Gue udah laper," sewotnya.

Setelah berpamitan dengan Amara, aku dan Chandra berjalan beriringan menuju area parkiran mobil. Saat aku hendak beranjak ke zona pakir tempat mobil orangtuaku yang artinya arah berbeda dengan lokasi parkir mobilnya, langkahku ditahannya.

"Mau kemana?"

"Ke mobil Papa."

"Mereka udah duluan, nungguin lo kelamaan. Bareng gue aja."

"Loh, kok mereka nggak nelpon? Kan gue bisa buru-buru tadi."

"Memangnya lo pikir kenapa gue repot-repot balik mencari lo ke area auditorium, bukannya nelpon?"

"Entah," jawabku nggak ambil pusing. Sudah terlalu banyak yang kupikirkan, pertanyaan konyolnya yang satu ini rasanya nggak pantas mengambil porsi dalam proses berpikirku.

"Coba periksa hape lo dimana?"

Aku membuka tas mini yang menyelempang rapi di pundak, mencari ponsel. Memeriksa seluruh kantong dan sekat yang ada di dalamnya. Tapi saat kubuka, isinya hanya ada pelembab bibir dan botol parfum mini. Sementara ponsel dan dompetku nggak ada. Kemana perginya? Aku yakin sekali tadi pagi kedua benda penting itu kubawa.

Aku melihat kondisi tasku, semuanya tampak baik. Tidak ada tanda-tanda kerusakan. Apa mungkin aku kecopetan saat sedang berkumpul dengan teman-teman. Tapi masa iya ada copet di tengah sekumpulan mahasiswa sih? Nggak masuk akal.

"Chan, handphone dan dompet gue hilang. Gue balik kesana bentar ya mau nyari," ucapku panik. Gimana enggak, dalam dompetku ada KTP dan kartu ATM. Kedua kartu itu sangat aku butuhkan untuk proses keberangkatanku nantinya. Apalagi ngurus KTP nggak bisa cepat, perlu prosedur panjang walau hanya pencetakan ulang.

Baru saja aku hendak beranjak, Chandra menyela, "Udah nggak usah. Gue udah nelpon nomor lo tadi, diangkat sama yang nemuin. Ntar dia balikin ke rumah."

"Yakin, Chan? Kalo dia bohong gimana?"

"Nggak bakal," tegasnya. "Ayok masuk, gue udah laper banget."

Melihatku tetap bersikeras, Chandra malah mendorongku masuk mobilnya. Kamipun melaju keluar dari area parkir menuju lokasi restoran yang sudah dipesan papa untuk merayakan kelulusanku. Awas saja dia, kalau sampai handphoneku nggak kembali, aku bakal minta ganti dengan handphone flagship keluaran terbaru.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang