31 - Connected

22K 3.1K 144
                                    

Halo lagi. Nggak bosen²nya aku bilang makasih. Setiap notif dari kalian, sangat aku hargai.

Apalagi buat pembaca yang menambahkan Beda Segmen dalam Reading Listnya. Aku terharu, karena rasanya karyaku masih jauh dari layak bersanding dengan bacaan kalian lainnya.

Note : chapter ini panjang. Butuh 2 hari riset di youtube buat paham prosesnya. Yah walaupun hasilnya belum memuaskan, but I put an effort into it.

Enjoy

❤❤❤

***

Perkataannya membuatku uring-uringan sepanjang jalan. Pak Angga menolak memberitahu kemana tujuan kami selanjutnya, membuatku makin frustasi. Rasa penasaran sudah sampai ke ubun-ubun namun ia enggan bekerja sama.

Tempat dimana dia bisa memelukku katanya. Ah sial, ucapannya berputar-putar di kepalaku seperti program looping, sebuah metode pemrograman yang dapat menjalankan perintah tanpa henti dengan melakukan hal sama terus menerus. Berputar di tempat.

Mobil Pak Angga mulai meninggalkan area perkotaan, jalan yang kami lalui telah berubah menjadi barisan pepohonan rindang di masing sisi-sisi. Satu jam lebih kami berkendara dan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Aku mulai curiga jangan-jangan pria ini menculikku.

Sebenarnya aku bosan bertanya tapi harus, "Pak, sebenarnya kita mau kemana?"

"Kamu takut ketinggian?" tanyanya tiba-tiba.

"Tidak ... "

Tidak tahu.

Alisnya menekuk tanda ragu namun dia memilih nggak membalas ucapanku, kembali menatap tenang pada jalan. Raut wajahnya berbinar begitu cerah, senyum belum luntur dari bibirnya. Sebenarnya apa yang akan kami lakukan, aku benar-benar penasaran.

Pak Angga akhirnya membelokkan mobilnya ke kiri melewati gapura besar bertuliskan 'Kaki Langit' sebagai gerbang masuk kemudian memarkirkan mobilnya di tempat yang disediakan. Di samping mobilnya banyak mobil-mobil lain yang telah terparkir lebih dulu.

Tempat apa ini?

Begitu aku membuka pintu mobil, hembusan udara sejuk menyapaku. Begitu segar. Tidak terlalu dingin, baju yang kukenakan masih mampu menahan dinginnya udara. Lingkungan sekitar masih begitu hijau, terdapat banyak pohon rindang yang menaungi jalan setapak di depan kami.

"Kamu bawa jaket?" tanya pak Angga membuyarkan konsentrasiku menikmati udara.

"Nggak terlalu dingin kok, Pak."

"Di atas bakal lebih dingin."

Di atas? Aku menatap sekeliling, tidak ada tanda-tanda gunung ataupun bangunan tinggi yang mungkin bisa didaki. Atau bisa saja di balik pepohonan sana ada tebing yang bisa di panjat? Waduh ... urusan daki mendaki aku belum siap. Naik ke kantor saja aku lebih memilih lift. Kakiku memang semanja itu.

"Kita mau mendaki, Pak?!" aku mulai panik, tidak ada perlengkapan apapun yang kubawa. Jangankan perlengkapan, kakiku saja belum kupersiapkan. Kekuatannya hanya sampai mendaki lantai tiga, lebih dari itu sudah meronta.

"Kalau urusan mendaki, saya menyerah deh, Pak. Tenaga saya nggak kuat. Daripada jadi beban, mending saya nunggu Bapak aja di bawah." Kuangkat kedua tangan tanda menyerah.

Pak Angga terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya, merasa sikapku nggak masuk akal. Wajar, akalnya dan akalku beda level.

"Kamu kebiasaan," ucapnya pelan.

Aku mengerutkan kening. Kebiasaan apa?

"Saya penasaran dengan isi kepala kamu ini –" tangannya menyentuh kepalaku lembut "Penasaran dengan bagaimana cara kamu berpikir. Dan sejauh ini saya menikmati prosesnya."

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang