22 - Unhide

19.7K 2.7K 21
                                    

Hai semua...

Aslinya part ini panjang, jadi aku split beberapa bagian ya. Selamat membaca...

***

Kalau kepala bisa kuformat ulang seperti halnya hard disk, pasti sudah kulakukan. Kadang aku mikir semuanya akan lebih mudah seandainya hidup bagai komputer. Bosan dengan hidupmu, bisa reset ulang. Ingin menghapus ingatan, tinggal format ulang. Ada yang perlu dihilangkan, tekan tombol delete. Ingin melakukan sesuatu, tinggal susun algoritma dan beres. Serba cepat dan presisi. Meskipun sesekali ada serangan virus, namun dengan maintenance dan update rutin semua itu bis1a diatasi.

Beda halnya dengan isi kepala dan hidupku saat ini. Satu nama terus bermunculan di setiap apapun yang kulakukan. Aku mencoba menyibukkan diri melakukan segala hal untuk mengalihkan perhatian, tapi sia-sia. Namanya akan kembali mendominasi.

Angga Raiz.

Bahkan saat mendengar Raisa bersenandung pun aku mengingatnya, nama mereka mirip.

Tadi di mobilnya sewaktu mengantarku pulang, ia bertanya tentang rencanaku liburan semester nanti. Kukatakan bahwa sebenarnya aku ingin ikut serta kegiatan UKM Pecinta Alam tapi kesandung masalah ijin. Chandra belum mengijinkan, apalagi mama dan papa. Jadi sepertinya rencana ini sembilan puluh delapan persen pasti batal. Dua persen lagi keajaiban.

Pak Angga menceritakan pengalamannya mendaki gunung, walau menurutnya ia lebih senang menyelami lautan. Penuh misteri dan bikin penasaran, ungkapnya. Aku hanya mendengarkannya seksama sambil membayangkan betapa menyenangkannya berenang di alam bebas sana.

Dia dan teman-temannya berencana mengadakan open trip bulan Desember mendatang bertepatan dengan liburan kuliah. Perjalanan singkat yang akan menghabiskan waktu sekitar 5 hari saja. Destinasinya sedang dirundingkan dan Pak Angga mengajakku ikut serta.

"Lebih gampang minta duit daripada minta ijin, Pak," curhatku pada beliau yang ditanggapinya dengan senyuman manis menenangkan.

Perbincangan kami mengalir hingga akhirnya sampai di depan rumahku, tak terasa kaku seperti sebelum-sebelumnya. Harus kuakui, berbicara dengannya ternyata lumayan juga. Obrolan kami nyambung. Tidak lagi canggung.

Sesampainya di rumah, Rama menelponku menanyakan kabar perkembangan laporan sistem pakar. Kujelaskan seringkas dan sesingkat mungkin namun cowok diujung sana sepertinya sengaja memperlama obrolan kami. Dia menceritakan bagaimana tadi alotnya perdebatan saat Mubes dan proses pelantikan pengurus baru yang sempat terkendala. Padahal aku nggak nanya.

Aku nggak begitu peduli. Tapi sesekali tetap kutanggapi ucapannya, demi alasan kesopanan. Setelah hampir dua puluh menit barulah sambungan telepon kumatikan. Ada orang yang lebih ingin kuajak ngobrol ketimbang dia.

You : Mas Bro... sibuk?

Balasannya datang tak lama kemudian.

Mas Bro : Enggak, baru aja sampai rumah. Kenapa, kangen saya?

You : Dih. Level arogansi dan kenarsisannya tolong sedikit dikurangi dong Mas.

Mas Bro : Bukan arogan, tapi optimis.

You : Emang habis darimana mas? Kenapa baru pulang jam segini?

Mas Bro : Kamu kepo atau cemburu?

You : Kenapa gue harus cemburu, emangnya lo habis jalan sama cewek?

Mas Bro : Benar.

You : Siapa?

Mas Bro : Wanita yang sedang saya usahakan.

Ha?

Tunggu. Tunggu dulu, biar kucerna. Dia jalan dengan cewek lain, calon pacarnya dan bahkan mungkin calon istrinya, gitu?

Ah kampret, shit. Kemaren ngaku-ngaku cemburu padaku sampai minta ijin menjadikanku miliknya sekarang malah jalan dengan cewek lain? Jadi semuanya cuma bualan, gombalan kosong. Dasar buaya kudisan.

Sialan, kenapa rasanya sesak?

Meskipun jutaan makian kulontarkan dalam kepala, tetap gak bisa menghilangkan rasa dongkol dalam hati. Apa aku terkena serangan virus baper? Apa aku termakan omonganku sendiri? Apa aku menyukainya? Tidak mungkin, toh kami gak pernah ketemu.

Kuakui aku merasa nyaman setiap mengobrol dengannya. Kalau cemburu artinya cinta, apa mungkin aku cinta dia? Nggak mungkin dong. Wujudnya saja aku tidak tahu, bisa saja dia sejenis makhluk astral tanpa kepala. Buktinya dia nggak punya otak tuh.

Tanpa sadar aku terkekeh tapi malah terdengar pahit. Ah, double shit.

Mungkin aku sudah tahu sejak lama tapi mencoba menyangkal perasaanku sendiri. Mengobrol dengannya begitu adiktif, membuat ketagihan dan excited bersamaan. Hingga tanpa sadar hatiku mulai terpikat jaring-jaring halus perangkapnya. Dia seperti laba-laba yang menebar jerat dimana-mana, menawan hati gadis polos macam aku. Setelah dapat, dibuang begitu saja.

Jika kubandingkan dengan pak Angga, posisi mas bro sedikit lebih unggul. Mas bro yang tanpa tahu wajah saja membuatku jatuh suka atau mungkin jatuh cinta. Membuatku nyaman dalam pesonanya yang penuh misteri.

Sedangkan pak Angga, senyumnya memang menakjubkan tapi rasanya otakku lebih bisa tahu diri menghadapinya. Logikaku bisa berjalan realistis, cause he isn't my league. Gak mungkin digapai aja gitu. Memang aku deg-degan di dekatnya, tapi dia itu seperti mimpi yang gak mungkin diwujudkan. He just too good to be mine. Lagipula beliau sudah punya calon istri.

Tenang Hana, keep it calm.

You : Oh, kalo lo sibuk lain kali aja deh. Gue juga baru ingat harus packing.

Mas Bro : Packing, mau kemana?

You : Mulai besok gue ngungsi ke rumah om gue. Dah Mas.

Obrolan kuakhiri sebelum berlanjut lebih jauh, lalu mengganti nama kontaknya di hapeku. Dengan nama yang paling cocok untuknya.

Tadi mama memberitahu bahwa besok tukang yang akan merenovasi kamarku sudah mulai bekerja sehingga aku lebih baik menginap di apartemen Chandra. Aku sih oke-oke saja, malahan lebih menguntungkan. Lokasi apartemen Chandra lebih dekat kampus, lagipula minta ijin ke Chandra jauh lebih mudah. Kuambil ransel dan kemudian mengisinya dengan beberapa perlengkapanku.

Semoga dengan tinggal bareng Chandra akan membuatku lupa dengan pria-pria ini. Dan satu lagi, aku harus menyelesaikan semuanya dengan Rama. Otak dan hatiku butuh ketenangan, tanpa mereka bertiga.

***

21-12-2020

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang