29 - Trial & Error

21.7K 3K 92
                                    

Hallo lagi...

Selamat membaca, tolong tandai typo dan kejanggalan ya...

Jangan lupa
❤❤❤

***

Menghabiskan waktu berdua bersamanya selalu menimbulkan suasana canggung namun entah bagaimana sekaligus membuatku merasa aman, seperti saat ini. Walau kegugupan sempat melandaku di awal tadi namun caranya berbicara dan bersikap membuatku nggak merasa terintimidasi, sebaliknya makin lama aku semakin merasa nyaman.

Obrolan mengalir lancar namun sebagian besar waktu justru lebih banyak kugunakan untuk fokus mengerjakan tugas. Bukannya bermaksud tidak sopan, tapi tugas harus diutamakan. Lagipula ini semua demi kesehatanku. Semakin lama menatapnya, umur ekonomis jantungku bisa berkurang signifikan.

Sambil menunggu kedatangan Amara dan Rama, kami berbincang singkat tentang berbagai hal yang kujawab seperlunya sambil tetap menulisi halaman kertas-kertas folio yang kosong. Segelas ice cappuccino di hadapanku hampir tandas saking seringnya kuseruput untuk mengalihkan perhatian dari dosenku ini.

"Tulisan kamu bagus," pujinya.

"Saya tahu. Bapak sudah pernah bilang sebelumnya," balasku sambil tersenyum. Tulisan tanganku memang cukup bagus untuk kriteria tulisan tangan wanita. Kalau dibandingkan dengan standar tulisan tangan pria, maka sudah pasti aku pemenangnya.

"Amara sudah hampir sampai, Pak." Aku melanjutkan ucapan setelah membaca chat dari Amara.

"Nggak sampai-sampai juga nggak apa-apa," tukasnya datar yang membuat mataku hampir melotot memandangnya. Apa maksud pak dosen ini?

"Tugas kami bakal makin lama selesainya, Pak. Kapan lagi kita bisa diskusi kalau bukan sekarang. Bapak akan semakin sibuk, lagipula dua minggu lagi kami ujian mid-semester, jadi proyek ini sudah harus selesai sebelum ujian."

"Segitu inginnya cepat selesai ya?"

"Bukannya lebih cepat lebih bagus, Pak?" tanyaku mengkonfirmasi.

"Bisa iya, bisa tidak." Saat aku menaikkan alis tanda tidak paham, beliau melanjutkan ucapannya,"Ya, untuk hubungan kita. Tapi 'tidak' untuk percepatan proyek ini."

Tunggu, aku semakin tidak mengerti. Kenapa kata-katanya nggak terjangkau nalarku.

"Semakin cepat kamu menerima saya, semakin bagus kan?" Oh, aku mulai paham arahnya kemana.

"Terus untuk proyek kami, kenapa tidak?"

"Karena begitu ini semua selesai, kamu akan semakin jarang menemui saya. Waktu kita bertemu semakin sedikit." Dia menyugar rambut, membuatnya terlihat lebih menawan.

"Bapak nggak akan sengaja berlama-lama ACC laporan kami, kan?" tanyaku memastikan. Bagaimanapun beliau adalah dosen kami, tandatangannya sangat penting untuk penyelesaian laporan. Pertanyaanku hanya dibalas dengan senyuman membius yang menjerumuskan fokusku ke jurang terdalam.

"Saya ACC sekarang, sebagai rewardnya tambahan 2 poin langsung ya," bujuknya. Nada suaranya yang begitu lembut hampir saja membuatku mengangguk. Hampir.

"Bapak ACC sekarang, 8 poin yang terkumpul nggak akan berkurang."

"Kamu pintar negosiasi."

"Orang bilang saya keras kepala."

"Itu benar, karena kamu punya otak yang harus dilindungi," balasnya membuat senyumku terbit tanpa aba-aba. Ah, dia tahu betul bagaimana membuatku merona. Kupalingkan wajah ke sembarang arah menghindari tatapan matanya.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang