47 - Last Hug

27.6K 2.9K 608
                                    

Apa kabar reader sekalian?
Masih setia baca kan?
Yah, walaupun authornya kadang menghilang, tapi aku selalu kembali membawa chapter baru.

❤❤❤

"Karena itulah, saya memilih melepaskan kamu."

Pernyataan ini seharusnya bukanlah hal baru. Aku sudah terlebih dahulu memilih melepaskannya hampir dua tahun lalu. Tapi kenapa rasanya jantungku seperti dihunus pedang tajam, menghujam tepat sasaran. Sepertinya ada bagian dari diriku yang masih enggan menerima kenyataan.

Kalimatnya membuatku semakin bungkam. Mas Angga juga terdiam. Suasana auditorium penuh dengan suara dan sorakan namun atmosfer di sekeliling kami begitu sepi, hening dan pekat.

Mataku memanas, dadaku bergemuruh. Aku mengalihkan pandangan ke panggung, agar apapun perasaan yang mungkin tergambar di kedua bola mataku nggak terbaca olehnya. Sambil menetralkan suhu rasa panas yang hampir menerbitkan air di kelopak mata.

Hampir dua tahun berlalu dan itu bukanlah waktu yang singkat. Mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan posisiku di hidupnya. Jadi kenapa dadaku mesti tercekat oleh perasaan tidak rela?

Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan pikiranku yang kalut dan dadaku yang menggelegak. Menarik kedua sudut bibir mencoba tersenyum kemudian memandangnya. Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kami, jadi daripada menyesal lebih baik aku mengucapkan salam perpisahan terakhir sambil merekam wajahnya selama mungkin di ingatan.

"Saya nggak ingin kamu merasa terkekang lagi. Saya nggak mau lamaran saya justru membuat kamu kehilangan keceriaan. Saya mencoba berdamai dengan keputusan itu. Makanya sejak hari itu saya nggak berusaha menemui kamu."

"Tapi ternyata itu bukan hal mudah," lanjutnya. Baru saja aku membuka mulut untuk bersuara, namun ucapannya terlebih dulu memotongku. Sama sepertiku, dia terlihat menarik napas sebelum melanjutkan.

"Melewati dua tahun tanpa kamu bukan hal yang mudah, Hana."

Oh, Tuhan. Betapa aku rindu caranya menyebut namaku.

"Andai kamu tahu apa saja yang sudah saya lalui selama ini. Kamu memblokir semua akses untuk saya. Untung saja ada mereka, yang membantu setiap kali saya merindukan kamu." Dia rindu aku? Benarkah?

"Maksud Bapak?" Pertanyaanku malah dijawab oleh gelengan kepalanya. Dia seakan hendak mengutarakan sesuatu tapi menahan diri. Sama sepertiku.

Banyak hal yang ingin kutanyakan. Beragam hal bersahutan dalam kepalaku berebut ingin diutarakan. Aku ingin bertanya bagaimana hidupnya belakangan ini, bagaimana pekerjaannya. Apakah dia masih sering memikirkanku? Tapi tidak bisa. Keadaan kami tidak lagi seperti dulu. Sekali lagi, kami sudah menjadi orang asing. Dan orang asing, tidak saling berbagi informasi pribadi.

"Berat sekali," lanjutnya. Kali ini suaranya terdengar lelah, hampir tidak sampai ke telingaku. Ia mengatupkan kedua telapak tangan pada wajahnya, kemudian mengusapnya kasar.

Hening kembali menyapa, meski kami dikelilingi keramaian. Aku nggak tahan lagi. Dadaku semakin sesak, ingin segera beranjak pergi. Tapi mengingat ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir kami, aku mencoba bertahan. Menguasai diri dan emosi yang ingin meledak ke permukaan.

"Apa kamu sudah menemukan orang lain?" tanyanya tiba-tiba.

Kali ini giliranku yang menjawab dengan gelengan. Fokusku belajar, bekerja dan melanjutkan cita-cita, bukan mencari pasangan menggantikan dirinya. Aku ingin menanyakan hal yang sama, namun kuurungkan.

Biarlah itu menjadi privasinya. Lagipula, apa untungnya aku tahu jawabannya. Kalau dia sudah punya kekasih baru justru malah akan semakin mengusik perasaanku. Aku belum siap mendengarnya.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang