Selamat Hari Kemerdekaan untuk kita semua, semoga negara kita makin maju. Paling tidak kasus-kasus korupsi berkuranglah ya...
Dan, semoga Covid segera berlalu. Nggak sabar rasanya pengen aktivitas seperti dulu kala. Sekolah, kuliah, ngobrol-ngobrol sambil tatap muka.
Itu sih harapanku untuk Indonesia.
❤❤❤
***Lift berhenti di lantai yang kutuju, satu tingkat lebih tinggi dari lantai apartemen Chandra. Kulangkahkan kaki menuju unit paling ujung dengan langkah tegas, tahu seseorang sedang menungguku di sana.
Sudah hampir dua minggu sejak pria itu mengutarakan lamarannya, aku belum memberikan jawaban. Masih banyak hal yang menyita pikiranku, presentasi kelompok, tugas kuliah, pernikahan Amara, dan persiapan UAS. Semua itu membuat kepalaku penuh. Belum lagi tanggung jawabku di Nuansa yang menyita waktu. Seluruh hal tersebut menghabiskan sumber daya otakku, sehingga urusan percintaan masuk antrian nomor sekian puluh.
Untungnya pacarku super pengertian. Dia tidak pernah menunjukkan sikap tidak sabaran, tidak pula memaksaku menjawab secepatnya. Ia sabar memberiku waktu menyelesaikan segala urusanku. Katanya rela memberikanku waktu, asal jawaban ya keluar dari mulutku.
Cincin pemberiannya masih tersimpan rapi di laci, ia memberikannya saat kami kembali ke penginapan setelah sesi snorkeling yang memabukkan. Cincin mungil yang manis, membuat jariku terlihat jauh lebih cantik. Cincin itu jarang kupakai apalagi kalau ke kampus. Bukannya aku malu, hanya saja malas menjelaskan pada orang-orang. Apalagi Amara yang sudah pasti akan merongrongku dengan segudang pertanyaan, tidak akan berhenti sampai penasarannya terpuaskan.
Aku memencet bel pintu. Menunggu seseorang membukanya dari dalam. Ketika langkah kaki mulai terdengar semakin jelas, aku menampilkan senyuman. Mengeyahkan seluruh permasalahan di belakang.
"Kamu ini, sudah tahu kode sandinya masih saja membunyikan bel," protesnya begitu melihat wajahku di depan pintu. Suaranya mengumandangkan protes tapi matanya menatapku lembut.
"Takut nggak sopan," jawabku menampilkan cengiran. Biarpun berstatus pacar, aku tidak ingin mengganggu privasinya. Meskipun sudah tahu kode sandi, bukan berarti aku bisa seenak hati masuk nyelonong begitu saja. Tidak begitu. Dia tetaplah tuan rumah yang harus dihormati.
Bisa saja saat aku masuk tanpa ijin, dia sedang mandi atau sedang tidak dalam kondisi siap menerima tamu, atau mungkin sedang bersama keluarganya. Kalaulah tahu-tahu aku masuk begitu saja, nggak kebayang kehebohan macam apa yang akan terjadi. Maka dari itu aku tetap memilih membunyikan bel pintu setiap kali datang bertamu.
Kedua lengannya terentang meraihku dalam pelukan hangat. Tubuhku seketika dilingkupi sepasang lengan kokoh, menyurukkan wajahku ke dada bidangnya. Dari jarak sedekat ini bisa kuhidup aromanya dalam-dalam. Aroma maskulin yang menenangkan.
"Kangen." Satu kata ucapannya membuat hatiku menghangat, ingin rasanya berlama-lama bersandar dalam pelukannya.
"Ck, kemaren lusa baru ketemu. Sehari nggak ketemu juga kita masih chat-an. Masa udah kangen aja?" Kemaren lusa saat akhir pekan dia mengajakku kencan. Kami menghabiskan waktu menonton bioskop, menemaninya berkeliling dan mengobrol sampai menjelang malam. Namun karena aku harus latihan final untuk presentasi bersama Amara dan Rama, kemaren kami tidak sempat berjumpa.
"Ngobrol langsung jauh lebih menarik ketimbang via chat. Mas bisa lihat wajah kamu, mendengar suara kamu. Semua itu nggak bisa lewat aplikasi."
"Ada video call, bisa voice note atau langsung telepon. Teknologi udah canggih Mas." Kudonggakkan kepala melihatnya yang ternyata sedang balas menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDA SEGMEN
ChickLitStatusnya sebagai mahasiswi jurusan Teknik Informatika, membuat Hana terbiasa berpikir logis dan runut. Bukan sentimen seperti kebanyakan gadis alay. Hana percaya seperti halnya pembuatan program komputer, cinta pun akan ada trial dan errornya. Han...