6 - Bukan First Date

27.4K 3.4K 195
                                    

Seperti biasa, jangan lupa tandai kesalahan dan kejanggalan cerita ya...

Bab 6

Terlalu muluk mengharapkan bangun pagi ala-ala estetik dan anggun seperti drama atau novel teenlit remaja dimana tokoh utama terjaga dari tidurnya dengan sinar mentari bersinar manja dari balik birai jendela. Sepertinya sungguh indah, tapi sayang itu terlalu tidak nyata.

Yang aku harapkan hanyalah bangun pagi normal biasa, dengan suara mama memanggil namaku lengkap dengan keterangan waktu 'Nana...sudah jam 5 lewat, mau subuhan jam berapa lagi kamu?!' atau 'Nana...sudah jam 7, kamu nggak kuliah?'. Waktu yang disebutkan mama entah waktu bagian mana, sebab saat mama bilang pukul 7 berarti itu masih pukul 6.30. Kutebak para mama sedunia sebenarnya ingin menciptakan zona waktu sendiri.

Keluargaku memanggilku Nana, dulu mereka bilang sewaktu kecil aku kesulitan menyebut Hana makanya diplesetkan jadi Nana. Tapi lagi-lagi mama punya banyak cara memanggilku. Nana, dipakai untuk percakapan normal biasa. Nak, dipakai untuk percakapan yang tujuannya membujuk. Tapi jangan sampai mama menyebutku dengan 'Raihana Adelia Taher', sebab itu artinya mama sudah berada di puncak murka.

Seperti pagi ini, mama sudah mengeluarkan panggilan "Nana...bangun...!" itu 30 menit lalu sambil mengetuk pintuku. Yang kemudian disusul, "Raihana...sudah jam tujuh!" panggilan itu masuk ke telinga tapi sayangnya gak cukup kuat membangunkan mata.

Hingga akhirnya,"Raihana Adelia Taher!!! Mau tidur sampai jam berapa kamu!" menggema di dapur sana.

Kutebak, bangun tidur pagi yang normal tidak terjadi hari ini. Saat aku masih nyenyak dengan posisi tertidur setengah telungkup, tiba-tiba punggungku dihantam benda keras dengan bobot fantastis. Sesuatu menindih punggungku secara sadis sampai dadaku terhenyak dan seketika mataku menyentak terbuka. Sontak aku berteriak histeris meminta pertolongan atas apapun yang sedang terjadi.

Sedetik kemudian, aku mulai sadar ada seseorang menempel di punggungku. Membuat kepalaku tertekan ke batal dan tidak bisa bergerak. Seketika, aku mulai merasakan sakit di sekujur tubuh belakang dari bahu hingga pinggul.

"Bangun. Jangan kebo."

Astaga, brengsek!

"Anjing. Apaan sih lo. SAKIT!!!" tak sabar aku berbalik dan kutendang badannya sekuat tenaga. Meskipun badanku bukan kategori bugar akibat jarang diajak olah raga, untuk menghajar Chandra powernya cukup lumayan lah.

Lihat saja, sekarang Chandra mengaduh saat berhasil kutendang ke lantai. Tubuhnya terjerembab dengan posisi menyedihkan. Namun tak lama kemudian si brengsek itu langsung berdiri sambil meringis tapi aku jelas tahu sakitnya sekedar pura-pura.

"Sakit Chan! Lo kira-kiralah. Apa kabar organ gue."

Bobot badanku hanya setengah bobotnya. Dia memiliki badan tegap dan tubuh berotot, sementara aku? Tinggiku tak sampai sehidungnya dengan berat tubuh yang tak seberapa. Dimana otaknya? Beraninya dia men-smackdown aku yang lagi tidur.

"Bahasa!" bentaknya.

"Gue bisa jaga bahasa kalau lo bisa jaga sikap."

Rasa sakit masih menjalar di sepanjang tulang punggungku, entah gimana kondisinya. Kalau sampai memar, awas kau Chandra!

Akibat keributan yang terjadi, mama mandatangi kamarku dan mendapati kami saling berteriak satu sama lain. Tak terima perlakukan Chandra, aku mengadukan semuanya ke mama, sementara Chandra menuduhkan hal sebaliknya.

Double brengsek! Playing victim dia.

Bisa-bisanya Chandra bilang bahwa dia bercanda dan malah reaksiku terlampau berlebihan hingga menghajarnya.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang