Bab 5
Aku mengalihkan pandangan ke sembarang arah, menatap kemana saja asal bukan ke pria yang berada di sampingku. Rasa canggung dan sungkan melingkupi suasana kami, terlalu hening hingga aku memutuskan fokus pada suara roda dan mesin yang menyala.
Sejujurnya aku masih gamang antara percaya tak percaya bisa berada satu mobil dengan pak Angga, duduk bersebelahan - lagi - di dalam mobilnya menuju kantor Nuansa. Aku bingung, sama sekali tak menyangka akan berada di situasi seperti ini sebelumnya, sementara di saat yang sama juga mesti jaga etika, sebab bagaimanapun juga beliau adalah dosen.
Bertemu dengan Pak Angga di Prolog tentu berbeda dengan situasi kami saat ini, waktu itu ada Chandra di sana, pak Fadil dan pak Bagas juga. Nebeng beliau saat datang ke kampus tadi juga nyatanya tak sama, tadi kami bertiga dengan Amara menyempil di belakang seenaknya. Situasinya kali ini benar-benar jauh beda.
Berduaan saja. Bahkan aku gak tahu mesti bicara apa.
"Kantor Nuansa yang di jalan Surapati 'kan?" ucapnya setelah nyaris 10 menit kami berdiam tanpa suara.
"Iya pak. Tapi nanti kalau ribet putar baliknya, saya turun di seberang aja."
Untunglah pak Angga cukup gentleman memulai percapakan, meskipun cuma bertanya alamat setidaknya suasana dalam mobil tidak lagi hening. Radio dinyalakan tapi suaranya terlalu kecil mirip bisikan, sama sekali gak mampu kutangkap.
"Santai aja. Putar balik malah meminimalisir risiko kamu kecelakaan."
"Tapi nanti bapak repot ngambil u-turn di Surapati, rame banget biasanya jam segini."
"Pakai mobil, bukan saya yang jalan."
Oh, oke. Kata-kata begini sifatnya final, susah didebat.
Mungkin karena merasakan kecanggunganku, pak Angga menaikkan volume radio sampai batas pendengaran normal yang gak akan mengganggu seandainya kami mengobrol. Seandainya.
"Kamu semester berapa sekarang?"
Jelas ini hanya pertanyaaan basa-basi, pagi tadi di kantin FK kami sudah memperkenalkan diri. Ya kecuali kalau daya ingatnya cuma segede biji sagu. "Semester 5 pak."
"IPK kumulatif berapa?"
"Cukup makan pak, nggak lapar nggak kenyang," ku lihat dia tersenyum kecil menanggapi analogiku.
Pertanyaan seputar IPK oleh orang asing sama seperti ditanya tentang berapa jumlah gaji atau berapa nominal saldo rekening, itu privasi. Dan aku jelas ogah berbagai informasi pribadi begitu. Mending bapak tanya nomor ponselku aja, aku jawab sukacita.
Hening lagi.
Kalau tahu semuanya bakal secanggung ini, mending tadi ku tolak mati-matian saat pak Fadil mengusulkan kami berangkat bareng. Bukannya terdiam pasrah di bawah tatapannya.
Tadi saat kami bertiga di kantin, tahu-tahu kedua bapak dosen yang terhormat menghampiri dan bergabung di meja kami. Bisa ditebak, kami jadi pusat perhatian. Wajar, kalau aku diposisi mereka, aku juga bakal melirik terus-terusan dua cowok ganteng yang duduk satu meja bersama 3 orang mahasiwa beruntung.
Ralat. Di meja ini yang layak disebut cowok cuma Rama. Posisi kasta pria dan cowok berbeda, dua makhluk rupawan di sebelahku jelas tidak boleh digolongkan dalam kategori sejenis cowok yang levelnya urakan dan kekanakan. Mereka sungguh jauh dari itu, mapan, dewasa, berkharisma dan belum lagi penampilannya yang sempurna. Sederhananya cowok itu sebutan lelaki yang masih dalam tahap perjalanan menuju dewasa, sedang 'pria' aku sematkan untuk lelaki-lelaki yang sudah jelas tahu apa tujuan hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEDA SEGMEN
ChickLitStatusnya sebagai mahasiswi jurusan Teknik Informatika, membuat Hana terbiasa berpikir logis dan runut. Bukan sentimen seperti kebanyakan gadis alay. Hana percaya seperti halnya pembuatan program komputer, cinta pun akan ada trial dan errornya. Han...