49 - Re-format

32.1K 2.3K 241
                                    

Aku mengutuk kebodohan dan kelambanan otakku dalam proses berpikir dan menggerakkan lidah. Kenapa di saat-saat penting seperti ini seluruh sistem syaraf dan penunjang kehidupan yang ada di badanku seolah nggak berfungsi. Kemana saja mereka? Tidak berguna.

"Saya tahu ini mendadak, mungkin juga terkesan lancang tapi tolong jangan marah. Saya hanya memanfaatkan sedikit peluang yang mungkin bisa mengubah keadaan. Cincin itu masih saya simpan, dia menunggu disematkan lagi di jari manismu, karena hanya itu tempat seharusnya. Seandainya perasaan kamu sudah sepenuhnya berubah dan tidak lagi ada harapan untuk kita, maka saya akan mundur selamanya."

"Saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, memaksakan sudut pandang dan keinginan saya padamu. Jadi apapun keputusan kamu akan saya terima tanpa syarat, tanpa bantahan."

Tubuhku masih membeku, setengah tidak percaya. Baru saja aku berdoa meminta kesempatan pada untuk bertemu dengannya. Doaku langsung dikabulkan dengan tambahan permintaan yang nggak kusangka. Dia, kembali melamarku? Setelah semua yang kulakukan padanya?

"Sekian tahun berlalu, walaupun kamu mengaku tidak pernah membenci saya, bukan tidak mungkin perasaanmu telah berubah. Itu semua diluar kendali saya. Yang bisa saya usahakan hanya ini, menunjukkan seluruh perasaan saya dan berharap kesediaan kamu menyambutnya."

Cukup sudah, aku tidak sanggup lagi memandang matanya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa begitu kacau. Sesuatu dalam tatapan sendunya yang membuat hatiku begitu gelisah. Tatapan mata yang menghalangiku berpikir jernih. Kujatuhkan pandanganku ke lantai, atau benda apapun yang bisa mengalihkanku dari bola matanya.

"Say something, Hana. Please ... " bisiknya.

Apa yang harus kukatakan? Bahkan kalimat ucapan terima kasih atas tindakannya pada mama tersangkut di pangkal lidahku. Mulutku kering. Ujung jemariku bergetar. Menyesal tidak membawa minuman lebih banyak. Setidaknya segelas air dingin akan sangat membantu mengencerkan otak yang membeku.

"Aku akan berangkat dalam waktu dekat," ucapku lirih.

"Saya tahu," balasnya.

"M-mas tidak mau LDR," meski gugup, aku mampu mengeluarkan kalimat ini.

"Hampir dua tahun, jarak kita dekat tapi perasaan kita sangat jauh. Saya tahu persis bagaimana rasanya. Sampai saya tiba pada satu kesimpulan, LDR tidak masalah asalkan perasaan kita saling mendekat, asalkan itu kamu, saya mau. Lagipula Singapura tidak jauh."

Jantungku yang sedari tadi sudah berdetak tidak menentu kini memompa semakin liar. Ujung-ujung jemariku terus menerus gemetar, aku semakin gugup.

Tiba-tiba prospek kembali bersamanya terdengar begitu menyenangkan. Bayangan menghabiskan waktu berdua, bercanda dan melakukan berbagai hal seperti dahulu kala membuat ribuan kupu-kupu seakan bersarang dalam perutku. Detak jantung sudah menggila semakin menghentak tulang-tulang rusuk sedemikian kuat. Padahal itu baru membayangkannya saja, belum mengalaminya.

Gelombang antisipasi memukulku kian telak. Ledakan hormon turut menyatu bersama percikan euforia yang sedang melanda. Bagaimana tidak, masalah yang belakangan ini kupikirkan tiba-tiba menemukan jalannya.

Calm Hana, please calm.

Kututup mata sejenak, menghembuskan napas yang tanpa sadar kutahan. Namun bukannya tenang, detak jantungku justru semakin ketar-ketir saat tiba-tiba tanganku diraih dan berpindah dalam genggaman hangatnya.

Haruskah kisah kami diformat ulang?

***

Berjam-jam sudah berlalu sejak obrolan itu terjadi. Tapi untaian kalimat dan raut wajahnya nya masih terekam jelas di benakku. Bayangan mata sendu, suara rendah, genggaman tangan yang hangat seolah enggan beranjak dari panca inderaku.

BEDA SEGMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang